Minggu, 20 September 2015

Wayang Demo Krasi



                Semula saya hanya sering mendengar, atau membaca. Lalu masuk ke fase selanjutnya mulai geli, gatal, dll. Kurang nyaman ketika mendengar kata demokrasi – bukan karena anti demokrasi – tapi lebih karena penggunaannya yg tidak sesuai esensinya, hanya dijadikan legitimasi dan perpanjangan tangan dari kampanye (biasanya).
                Heheh, sedikit lebih berat dari tulisan saya yg lalu-lalu, tapi ini bukan karena saya sedang kurang tidur tapi karena saya sudah tidak bisa menahan gatal.
                Demokrasi, muaranya dari kata Yunani. Mungkin sudah lama bergentayangan, mondar-mandir di ruang semesta bahkan sebelum istilah ini ditemukan. Beberapa cerita kuno sudah mengucurkan sedikit cairan esensi demokrasi pada alurnya, padahal istilah demokrasi belum masuk di kamus dunia. Karena terpengaruh cerita wayang, maka ini kali saya ambil wayang sebagai contoh cerita kuno itu.
                (jangan serius, minum dulu kopimu..)
                Entah kapan pastinya wayang ikut campur dalam dunia sastra Nusantara, namun sudah jelas bahwa wayang adalah kisah klasik dari India. Entah pula, apa yg ada dalam pikiran si pujangga jaman dulu sehingga menambah beberapa tokoh dalam pewayangan. Seperti contoh Punakawan, Semar,  Gareng, Petruk, Bagong. Saya curiga, ada niat baik dari si pujangga, dia berpesan pada kita agar jangan menerima semua hal yg masuk dengan mentah, apalagi dengan menutup mata. Sesuaikan jika itu diperlukan! Begitu pede-nya kita pada jaman dahulu, sehingga yg mulanya bukan kita, diolah menjadi kita.
                Dari wujud Punakawan, kita memperoleh pelajaran demokrasi pertama. Bahwa Punakawan sebagai replika rakyat adalah pemegang kuasa, dan diperbolehkan yg bawah mengkritik yg atas. Seperti sendok untuk makan, sendok dibawah, tapi ia leluasa me-nyendok yg di atasnya dan membawanya kemana saja..heheh.. Terlepas dari Gareng, Petruk, Bagong sebagai Pangruwating Diyu, dan Semar sebagai perwujudan Sang Hyang Ismaya itu hal lain, nanti kapan-kapan tak ajak ngobrol lagi..
                Punakawan terlihat jenaka, tapi itu hanya ampasnya saja. Berpolah seperti bocah, tak tau apa tentang apa, namun akalnya tak pernah tidak matematis. Memproses input lalu keluar sebagai output yg terbias ringan, tapi bermutu. Sehingga kritik mereka selalu sampai bukan hanya pada si pemimpin ketika bangun, tapi sampai si pemimpin tidur pun, mimpinya masih seputar kritik cerdas dari si Punakawan. Hubungannya dengan kita, pada jaman yg katanya demokrasi ini, jika sudah sepakat dengan suatu perjanjian, yaaa hendaknya saling tepo sliro-lah, tenggang rasa. Si pemimpin tidak menggunakan kekuasaan untuk menguasai, karena rakyat butuh pemimpin bukan penguasa. Pada Punakawan terlihat jika mereka mengkrtitik tidak hanya dengan pedas tapi juga cerdas. Ingat juga ketika sedang mengkritik, jangan berpikir nanti akan dibaca mereka, yg penting kritik dengan cerdas, Bung!
                Sebanding dengan Punakawan, si Bima satria kondang di kasanah pewayangan yg selalu ngoko dengan siapa saja. Dalam benak Bima, demokrasi adalah tentang kasih sayang. Bahwa kasih sayang tidak tentang tutur kata yg sopan tapi tentang hati ke hati. Dengan ngoko, tidak berarti Bima tidak menghormati dan tidak berkasih sayang, tapi lebih kepada menganggap semua manusia ya manusia. Menghormati dan berkasih sayang tidak harus dengan sopan santun. Bukti lagi bahwa wayang adalah pelajaran tentang demokrasi, para sesepuh Bima seperti Kresna juga menghargai sikap Bima yg memilih ngoko pada siapa saja. Kresna pun tahu sebenarnya Bima adalah satria penuh kasih sayang, bahkan Bima memiliki hati yg lembut walaupun badannya keras penuh otot. Hanya saja memang Bima tidak menunjukkannya dengan tutur kata. Ketika sopan santun dijadikan tolak ukur suatu penghormatan maka yg terjadi seperti sekarang, sopan santun hanya dijadikan topeng, tidak datang dari rasa, tapi cuma dari raga.
                Lalu, apa kita sekarang berdemokrasi? Jika kita masih benci dengan orang yg memilih jalan berbeda. Apa kita berdemokrasi? Jika kita menggunakan tipu daya sebagai legitimasi kuasa. Masak iya kita berdemokrasi? Kalau pengambilan keputusan dilaksanakan secara sepihak dengan dalih supaya praktis. Hehe, banyak pertanyaan yg harus kita kutip sendiri. Tapi tidak enak juga jika terlalu panjang. Mari mengutip pertanyaan dalam keseharian masing-masing. Tetap belajar menjadi Nusantara yg percaya diri, jangan mau dipaksa menjadi yg lain. Karena ayam yg mau dipaksa menjadi bebek, akan merasa bahwa dirinya bebek tapi berbadan ayam.. Heheheeu..