TN. Baluran (zhafiratrans.co.id) |
Safari
identik dengan perjalanan yang menyenangkan, dengan mobil kap terbuka dan
melihat kiri kanan penuh dengan ekosistem yang masih terjaga. Ke belantara?
Belantara lebih cocok digunakan untuk hutan yang benar-benar liar dan rimbun.
Tapi, kenapa kali ini belantara digunakan sebagai pasangan hukum. Belantara Hukum. Apa karena hukum sudah jadi liar dan rimbun, dengan politisasi yang
tambal sulam. Atau memang lebih luas lagi, kehidupan memanglah sebuah belantara
yang liar dan penuh mitos. Jawab di hati masing-masing.
Menengok
praktek hukum sekarang, dari sudut pandang awam, pasti terlihat lebih banyak
praktek hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah. Seperti itukah memang hukum?
Atau ekspektasi awam saja yang berlebihan tentang hukum, yang menganggap hukum adalah
barang suci, yang bisa ditelaah mentah bersama kulitnya. Apa memang hukum
adalah jalan yang sudah pasti kebenarannya?
“Jalan
apapun yang kau tempuh, lurus ataupun berkelok-kelok. Ingatlah bahwa selalu ada
kubangan di setiap jalan itu.” – Amongraga. Serat Centhini
Mari
kita kembali pada idiom Jawa Kuno, dari Amongraga, bahwa pada kenyataannya,
setiap apapun pasti punya kubangannya sendiri-sendiri. Kesucian hanya milik
orang-orang yang memperoleh ilham dari langit, dan langit itu sendiri. Jadi,
masih menganggap bahwa hukum itu bersih dan menjamin setiap keadilan ? Tentu
bisa saja iya, jika hukum yang dimaksud berpihak pada keadilan. Jika tidak ? Maka
jangan gunakan lagi adagium ‘setiap orang sama di mata hukum’.
Dalam
ilmu hukum tentu terdapat banyak asas-asas. Asas utilitas, yang memungkinkan
seseorang tidak terkena penegakan hukum jika melakukan penyimpangan, karena
jika sampai seseorang tersebut tersangkut kasus, akan berdampak pada runtuhnya
negara. Asas praduga tak bersalah, yang memosisikan hakim sebagai satu-satunya
pengambil keputusan atas penetapan tersangka, walaupun bukti sudah menunjukkan
indikasi. Lalu berbagai asas lainnya yang tertulis dalam buku-buku pengantar
ilmu hukum.
Seperti
yang sudah saya tulis di atas, hukum pidana dan perdata pada umumnya berbeda
dengan hukum gravitasi, hukum Newton, hukum-hukum temuan Cengel tentang
Termodinamika. Ilmu hukum pidana dan perdata bukanlah ilmu eksak, dia bisa saja
berubah dan tidak bersifat klinis. Memiliki tingkat relatifitas yang jauh lebih
tinggi, tergantung siapa yang menggunakan dan pada siapa si hukum berpihak.
Maka jangan heran melihat potret hukum di negara yang berlaku seperti anak
perusahaan, jika praktek hukum terlihat tumpul ke atas tajam ke bawah. Dan
jangan heran jika para pekerja hukum tetap kekeuh berkampanye ‘semua orang sama
di mata hukum’, itu hanya cara berpolitik dalam hukum. Karena hukum memang
dijalankan dengan politik hukum, yang keliru adalah jika terjadi politisasi
hukum.
Kita
tentu punya persepsi lain-lain tentang hukum. Tapi yang lebih penting,
berhentilah menganggap bahwa hukum itu suci. Jangan terlalu percaya dengan
mantra-mantra hukum yang tertulis di buku pengantar ilmu hukum. Karena
kenyataan akan selalu berbeda dengan tulisan. Hukum akan adil jika memang berpihak
pada keadilan, hukum akan benar-benar ditegakkan, jika benar sudah ditegakkan.
Tak ada lagi kebenaran dari sudut pandang lain-lain, kecuali dari kebenaran.
Dan rakyat, adalah komisaris jendral di negaranya. Tampuk kekuasaan tertinggi
dalam sebuah negara, berhentilah mengigau tentang kesucian hukum, karena hukum
yang sekarang berjalan belum tentu berpihak padamu. Biarkan negara ini runtuh
jika langit menghendakinya, kau sudah tahu bahwa hukum dan dunia adalah
belantara. Manusia hanya pencari kebenaran di tengah belantara, yang ada
padanya barulah kebenaran yang masih bisa dipertanyakan. Ingat, di atas hukum
masih ada etika..
“Salus
populi suprema lex : keselamatan rakyat adalah hukum yang paling tinggi, lebih
tinggi dari konstitusi.”
“Sekalian
masih tersihir hawa panas materi
Lengah
dengan diri sendiri, lali dengan duka dan cita kehidupan
Diam,
dan tak melawan!
Maka
nanti saat kau bangun
Terjunlah,
pada pergulatan dengan dirimu sendiri
dan
medan pertempuran dengan penguasa haus kuasa
Biarkan
sayup suara ini didayung angin peradaban
terbaca
oleh mereka yang sadar
bahwa
serakah bukanlah mental.”
(
di Belantara, 19/04/’16 )