Selasa, 20 September 2016

Riak Suara; Bawah Atap Tejakusuma


Alunan angklung berimbalan. Ada enam angklung bernada pentatonis: pelog. Gong besar berada di samping kiri, sendiri. Empat buah kenong berjajar di depan, memasrahkan pukul pada satu-dua orang niyaga. Kesemuanya begitu patuh dengan aba-aba irama kendang yang berada pada tengah formasi. Kendang yang jika diberdirikan setinggi pinggang orang dewasa, berukuran satu meter kotor, berbahan kayu nangka. Satu lagi, suara yang memekakkan telinga. Instrumen tiup bernama slompret. Bukan main gila tingginya nada dari alat itu.

Hanya delapan orang, yang ada dibalik suara-suara yang kental suasana etnis itu. Dalam beberapa frasa irama, mereka bermain seperti orang tanpa dosa: lupa segalanya kecuali irama. Sama sekali tak ada ikut campur kawan-kawan dari dunia mistis, kalaupun ada yang membakar menyan, boleh lah itu sebagai pembau hidung: harum-haruman.

Tapi, malam itu ketika aku sambangi mereka di Tejakusuma, sama sekali tanpa menyan. Kondisi udara sedang tak membutuhkan pengharum, pikirku. Dan biasanya memang tanpa itu.

Aku duduk dibelakang si angklungers. Datangku bersama seorang kawan. Aku perhatikan betul-betul kala itu, siapa saja yang berlatih Reyog di Pendhapa Tejakusuma. Penari, pengrawit, wiraswara. Keputusanku: komplit!

Pendhapa Tejakusuma ialah salah satu sarana milik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Bangunannya joglo. Berbentuk segi empat dengan tiang kayu ukiran. Lantainya merah. Cukup luas untuk bergerak. Tiap malam, kecuali sudah lingsir, ramailah tempat itu. 

Tersebutlah si Manggala Mudha—yang sedang kuceritakan inisebagai salah satu yang meramaikan. Paguyuban ‘maniak’ Reyog Ponorogo yang numpang makan dan minum di Yogyakarta. Kebanyakan pegiat di dalamnya ialah calon sarjana, calon diploma, dan beberapa orang lagi pekerja. Cukup tahulah aku, karena pernah basah nyemplung di dalamnya. Dua pertiga lebih anggota bukan pribumi Yogya, sisanya boleh dikata asli Yogya.

Kira-kira setengah sembilan, latihan mulai serius. Semua intsrumen dibunyikan pengrawit, semua mulut wiraswara melempar senggak dan kidungan, dan penari, tentu saja menari. Ada sebagian orang yang berdiri, masing-masing di lokal gamelan, wiraswara, dan penari. Aku menyebutnya Korlap(Koordinator Lapangan), agar mewakili ketiga lokal. Beberapa orang itulah yang membimbing atas apa yang mereka imani sebagai wiraga, wirasa, wirama.

Reyog adalah sendratari. Tentu saja membutuhkan banyak penari. Di latihan malam itu, yang aku jadi saksi atasnya, kurang lebih ada tigapuluh penari. Campuran, ada yang perempuan ada yang lelaki.
Malam itu pun sebenarnya bukan latihan sembarang latihan. Konon ceritanya, para ‘maniak’ reyog itu, sedang mempersiapkan sebuah komposisi untuk berfestival. Festival yang dirayakan untuk Peringatan Grebeg Suro, pergantian tahun Saka Jawa, di kabupaten sisi timur Jawa: Ponorogo.

Festival Nasional Reyog Ponorogo, nama untuk festival besar-besaran itu. Melibatkan ribuan orang di dalamnya. Sebagai gambaran, ketika festival itu digelar di alun-alun kabupaten, akses jalan di sekitarnya pasti akan penuh sesak. Orang berbondong menuju panggung utama alun-alun. Tak ada cerita bosan dalam menyaksikan berpuluh tampilan sendratari Reyog Ponorogo. Padahal, sudah bukan hal baru bagi mereka. Hampir seperti wayang, ada saja yang menyaksikan. Mereka yang bersaksi tumpah ruah begitu saja. Ada yang berkalung sarung, menggendong anak, juga muda-muda dengan tipe paling baru.

Maka setengah membaurlah mereka di depan panggung utama, karena tempat duduk masih dibedakan. Menyaksikan puluhan Dadhak Merak memamerkan taringnya secara bergantian. Masuk satu, keluar satunya lagi. Grup reyog dari pelbagai penjuru berpesta pora 'pamer' garapan masing-masing. 

Pengaruh dari kesan festival itulah, yang boleh jadi membikin Tejakusuma begitu hidup malam itu. Ya, di malam latihan yang aku saksikan. Para awak Manggala Mudha berusaha menghidupi kesenian yang satu ini. Mereka pantas disebut salah satu pihak yang memanjangkan usia seni tradisi yang konon lahir di jaman baheula. Jika dahulu sekali, Reyog pernah menjadi sebuah kesenian yang bersifat ritual, maka sejak festival digelarkan, Reyog menjadi sebuah pertunjukan yang makin lumrah dipertontonkan. Kembali pada sifatnya—menurut legenda—bahwa Reyog memanglah seni perrtunjukan. Setidaknya kini, Reyog sanggup menjalani kedua sifat: ritual dan festival.

‘Muda-mudi yang tak segan untuk memulai sesuatu’, setidaknya itu tafsiranku atas arti nama 'Manggala Mudha'. Jika siapa saja, yang ingin terbius dengan hawa etnis Reyog, datanglah ke kota kecil berjuluk Ponorogo ketika festival besar itu digelar: pekan terakhir bulan September. Jadilah saksi atasnya. 

Seperti aku menjadi saksi atas 'Riak Suara Bawah Atap Tejakusuma', malam lalu: 20 September 2016.

Tabik!

Senin, 19 September 2016

Panjang Umur Sekolah Carangan!



I:BOEKOE merupakan akronim dari Indonesia Buku. Jika dilafalkan begitu saja, maka bunyinya menjadi IBUKU. Pesan tersirat dari pendiri yayasan literasi tersebut, bahwa buku ialah ibu. Atau, anggap saja buku sebagai ibu, ya ibumu. Sebaiknya mungkin begitu, karena buku bersifat mengasuh, seperti ibu. Buku bersifat mengajarkan, seperti ibu. Kata ‘Buku’ berakhiran huruf ‘U’, seperti itu pula kata ‘Ibu’.

I:BOEKOE memiliki setidaknya 3 anak pinak; Radio Buku, Perpustakaan Gelaran Buku, dan Warung Arsip. Ketiganya sama-sama menjunjung prinsip kebersamaan, siapa saja punya hak dan kewajiban sama. Haknya merdeka dan kewajibannya memerdekakan. Namun kali ini saya tak akan membahas lebih panjang wujud fisik ketiganya.

Ahad(18Sept16), diadakanlah suatu kelas menulis esai. Semacam lokakarya kepenulisan. Di ruang depan Bale Black Box, Sewon Indah, Bantul. Bale Black Box itu, yang dipercaya banyak orang sebagai markas besar keluarga non-sedarah I:BOEKOE.

Lokakarya dimulai siang, semula rencana pukul 13:00 menjadi 14:00.  Tigabelas orang duduk mengitari meja kotak besar, dua orang lagi di meja sebelahnya karena tak cukup. Duduk di meja terpisah dengan niat yg sama: belajar. Sembilan lelaki dan satu perempuan berkedudukan sebagai murid, dua lagi panitia, dan yang seorang mursyid. Sebenarnya ada beberapa orang lagi, di lantai atas dan ruang belakang, namun mereka tidak sedang fokus dalam kelas esai. Mereka sedang berkegiatan lain.

Ada tiga mursyid dalam kelas ini, Faiz Ahsoul, Fairuzul Mumtaz, dan Muhidin M. Dahlan. Ketiganya adalah beberapa ‘orang tua’ dari para muda-mudi yang tiap hari berkegiatan di rumah kotak itu. Tiga orang tersebut menjadi biang pengetahuan di kelas esai kali ini. Secara bergantian mereka memaparkan esensi kelas ini diadakan. Yang satu, Gus Muhidin, menjadi pemateri tunggal di kelas esai: khususon membahas esai.

Pendek kata, kelas pun berlangsung. Diawali dengan minum kopi, teh, makan kacang rebus, dan beberapa menyulut rokok. Siang itu percakapan dimulai dengan pembukaan dari pihak panitia kecil Kelas Esai, kemudian pengantar dari Mas Faiz Ahsoul. Percakapan berjalan ringan, guyon, sambil sama-sama berbagi pengetahuan. Sampai pada tengahnya, dilontarkan tema dari Kelas Esai ini: menulis esai biografi tokoh keluarga.

Tema yang sangat biasa. Terlampau biasa. Ya, apa yang menarik? Jawabnya, yang menarik adalah ‘yang tak menarik’ tersebut.

Cukup bahagia suasana hati saya, ketika mendengar tema itu. Suatu kesempatan yang khas, untuk menuliskan cuilan cerita dari tokoh keluarga. Kenapa tokoh keluarga? Karena sebenarnya keluarga adalah tokoh, tapi sering tidak ditokohkan. Baik buruk keadaan keluarga tentu menjadi suatu pelajaran yang dashyat, sekurangnya untuk masing-masing pribadi.

Keluarga—jika berpedoman pada nilai Ki Hajar Dewantara—merupakan salah satu pihak yang menyelenggarakan pendidikan. Dari sana sebenarnya seorang bocah mendapatkan pengalaman pertama. Pengalaman pertama, kiranya merupakan pengalaman yang lumayan menentukan dalam proses berkembang. Dia memberi dampak langsung pada siapa saja dalam lingkup keluarga tersebut. Lepaskanlah tuduhan bahwa keluargamu buruk, atau keluargamu baik, ambil saja suatu pelajaran dari sana. Warisi apinya, jangan abunya, kira-kira begitu kata Soekarno.

Ketika sekolah formal berlomba mengajarkan sejarah nasional, yang berarti sejarah besar, maka Kelas Esai ini justru memulai pelajaran sejarah dari keluarga masing-masing peserta: dengan cara menulis biografi tokoh keluarga. Saya tak bilang bahwa satu diantaranya lebih baik dari yang satunya. Tentu dua pelajaran di atas sama pentingnya, dan sama kedudukannya. Satu hal, ketika terlalu sibuk mengurusi sejarah nasional, maka sejarah yang lain pun menguap, tak tersentuh dan membangkai. Hal ini yang saya anggap suatu keuntungan dari diangkatnya tema sejarah keluarga. Dari sejarah yang kecil; diri sendiri, keluarga, kampung, dan seterusnya. Mungkin begitu urutannya.

Saya mendakwa, bahwa sebenarnya I:BOEKOE, dan segala hal di dalamnya, tak hanya berurusan dengan perbukuan. Cukup kuat bukti saya, bahwa ia sebenarnya adalah sebuah pendidikan: sekolah. Sekolah alternatif, sekolah carangan. Mungkin juga bisa disebut--terlepas dari keabsahan badan hukum--universitas, akademi, atau apa saja yang berguna untuk sarana perpindahan pengetahuan. Sebuah sekolah tanpa seragam namun tetap berkurikulum. Kurikulum yang saya maksud adalah sebuah landasan kuat dan berlaku bagi tiap orang memasuki rumah I:BOEKOE. Bahkan, ketika mulai masuk gerbang Bale Black Box, belum menyentuh lantai ruang dalam pun, seseorang yg masuk itu pasti langsung 'mengendus' bau kurikulum itu. 

Tak ada lain tak ada bukan, kurikum yang saya maksud ialah ‘kemerdekaan’. Tiap orang merdeka dalam tiap gerak-gerik, ucapan, bahkan pikiran. Tiap pribadi justru diwajibkan untuk tidak seragam. Ya, bagaimana? Bukannya manusia memang tak seragam. Sepengetahuan saya, setiap pribadi punya akal bukan? Mana ada akal yang seragam isi dan kehendaknya. Dan akal, tak lain harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Tentu yang berhak menggunakan adalah pribadi masing-masing. Jika dipaksa untuk menganut pada satu pedoman tertentu, dan paksaan itu begitu keras, berarti itu teror yang pasti mebahayakan lagi mengerikan. Justru dengan kemerdekaan, orang akan belajar secara otentik untuk mencari batasnya sendiri, begitu kata Cak Nun.

Sekolah carangan inilah, yang menjadi alternatif dari penatnya sekolah formal. I:BOEKOE menjadi salah satu 'dunia lain' dimana sekolah berwujud cair nan egaliter. Memunculkan hubungan murid dan mursyid, sekaligus siswa dan guru. Suatu pendidikan yang tak kalah baik dengan pendidikan bergelar yang lama-lama menjadi sebuah kebutuhan, dan perlu diingat bahwa kebutuhan, hampir erat kaitannya dengan kecanduan. Dua-duanya memungkinkan untuk jadi rujukan pembelajaran.

Candu tak melulu buruk, ada baiknya. Silahkan memeriksa diri kita masing-masing, candu manakah yang sering kita gunakan. Baik kah? Buruk kah? Tentu ada keduanya, termasuk saya sendiri pun begitu.

Banyak hal yang musti saya ‘curi’ dari sekolah carangan. Prinsip ‘maiyah’, meminjam istilah Emha, yaitu prinsip kebersamaan, adalah salah satunya. Menyusun ingatan kembali, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Yang selalu butuh kolektif, butuh kawan. Juga prinsip keseragaman, merupakan salah duanya. Jangan cepat mati, doa saya untuk seluruh sekolah alternatif yang ada di semesta. Panjang umur sekolah carangan!

Tabik.

Sabtu, 17 September 2016

Wayang: Politik, Waktu, dan Ruang



Abad kedelapan, wayang mulai tumbuh dan keliling dari kampung ke kampung di Nusantara. Menjadi hiburan rakyat. Dengan dalang sebagai juru dongeng. Sinden pembangun hangat suasana, dan gamelan sebagai pengiring sekaligus pelembut. Rakyat jelata menjadi penikmat setianya semalam suntuk. Keterbukaan wayang serta lelucon satir dari dalang yang bebas klayapan kesana kemari, menjadi penenang saraf tegang dari penonton yang sehari penuh bekerja. Semuanya mengerubungi pentas: anak kecil, dan perempuan, lelaki berapapun usianya.

Kelengkapan unsur seni di dalamnya: musik, drama, tari, rupa, menjadikan wayang sebagai seni pertunjukan yang memikat. Peluang bagus sebagai alat untuk menghegemoni rakyat. Sebagai corong membudakkan manusia khususnya jelata. Kenyataan itu yg setidaknya pernah terjadi dalam sejarah pewayangan nusantara. Ya, wayang juga pernah terpuruk sekitar abad 16, terjerembab lalu dipungut sebagai lengan kuasa dari tangan-tangan kolonial dan feodal.

Wayang menjadi alat hipnotis, pakem-pakem menjadi amat kaku. Gerakan carangan pada wayang—dalam hal ini Semar, Gareng, Petruk, Bagong sebagai Ponokawan—kehilangan guyon satirnya. Dalang yang semula tukang lempar kritik diubah menjadi juru bicara feodal-kolonial. Aroma mistis yang berlebihan ditebarkan pada sekujur tubuh pewayangan. Bahwa dewa menjadi penguasa mutlak, dan pamali jika disanggah. Dewa menjadi kehilangan arti. Dewa yang sejatinya merupakan simbol dari puncak ilmu pengetahuan, bergeser menjadi diktator. Kisah Mahabarata Tradisional menjadi begitu seram dan dangkal, penuh legitimasi atas pemerasan. Ponokawan yang tugasnya memberi penerangan, sekaligus simbol kebebasan rakyat, dikerdilkan jadi lelucon tanpa mutu.

Begitu pergulatan wayang dalam rumah koloni berperabot feodal. Masyarakat jelata yang semula menikmati pertunjukan wayang dengan wajah sumringah, berubah menjadi wajah polos seperti kena gendam. Lantaran hawa mistis berlebih yang disisipkan penguasa pada tiap pakem wayang. Dan usaha ini bukannya tak berhasil, sebagian rakyat yang terhegemoni akhirnya terseret jua pada simpul kisah pewayangan yang mewakili mulut feodal kala itu. Pertunjukan wayang yang egaliter dan sarat nilai kerakyatan pada mulanya, berubah jadi penuh tipu muslihat. Peminatnya merosot bahkan nyaris sepi. Gugur demi satu lantaran bosan dan kurang gayeng.

Namun, sebagai kesenian yang telah mengakar di Nusantara, ternyata akarnya cukup kuat untuk tetap berdiri. Setelah digempur dan ditunggangi koloni, pada akhirnya wayang diakui UNESCO sebagai seni asli Indonesia. Biarpun kisahnya lahir di India, tapi wayang yang berkembang di India berbeda jauh dengan di Indonesia. Beberapa tokoh adalah hasil kreativitas para Juru Barata—sebutan untuk dalang sekaligus pengarang cerita wayang-- di Nusantara.

Perjalanan wayang sebagai seni rakyat yang bertahan sampai sekarang merupakan suatu proses pendewasaan bagi wayang itu sendiri. Jika pada masa kolonial ia digunakan sebagai alat tipu-tipu, setidaknya zaman Soekarno wayang mulai diangkat. Lekra adalah salah satu lembaga kebudayaan yang sadar akan kesenian lintas zaman ini. Riwayat wayang sebagai seni rakyat menjadikan Lekra merasa perlu untuk memikirkan nasibnya. Lagipula, wayang adalah anak kandung kebudayaan rakyat.

Luka lama wayang—alat legitimasi paham pemerasan-- sedikit-sedikit mulai dibersihkan dan disembuhkan. Lekra menjadi wadah para dalang berkumpul dan bertukar pikiran, di Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, dan sebagian Jawa Timur. Para dalang yang tergabung dalam paguyuban masing-masing tak segan menghadiri rembug budaya yang digelar Lekra. Bahkan, banyak juga Ki Dalang yang secara sah nyemplung sebagai anggota Lekra.

Pakem pembaharuan mulai digarap. Pembaharuan dari segi isi cerita dan dari segi bentuk. Pakem cerita yang memuat penghisapan dan perendahan derajat rakyat dibabat, cerita carangan mulai dikembangkan. Ponokawan menjajaki perannya kembali setelah sekian lama tidur dalam lelucon tak berisi. Lakon yang menceritakan liciknya Kresna sebagai titisan dewa, mulai diangkat, seperti dalam cerita gugurnya Bambang Ekalaya. Bima kembali mendapat keberaniannya dalam bicara, tersirat dalam lakon Bima Suci, yaitu argumen Bima tentang konsep keagamaan yang membuat Batara Guru tersipu malu. Pun Batara Guru sebagai Presiden para Dewa, mulai diperlihatkan boroknya. Semua tokoh wayang ditancapkan sebagai anak buah dalang. Rakyat mendapat intisari wayang sebagai hiburan rakyat yang sesungguhnya: wayang yang egaliter. Lekra dan khususnya beberapa dalang yang terhimpun dalamnya, cukup berperan dalam pengembalian wayang ke fitrahnya.

Dalam pandangan Lekra, mengutip dari buku Lekra Tak Membakar Buku karya Muhidin M Dahlan, wayang diposisikan sebagai alat perjuangan dan propaganda Manipol kala itu. Oleh sebab, muatannya harus penuh nilai kerakyatan, revolusioner, dan bergaris politik Manipol. Wayang harus berani untuk diperbaharui. Merupakan proses perdebatan ketika wayang hendak memasuki fase pembaharuan. Beberapa dalang yang konsisten dengan prinsip ‘Mahabarata untuk Mahabarata’, mentah menolaknya. Namun, dukungan penuh keluar dari diri para dalang ‘progresif’ yang segaris dengan pemikiran Lekra.

Beberapa dalang ini seperti Ki Dalang Muljadi Muljosabdo. Ia menggubah lakon Kalimantara yang menceritakan perjuangan ganyang Malaysia. Kisah yang sama sekali baru dalam pewayangan. Namun wayang yang digunakan adalah tokoh-tokoh yang sudah ada: Kumbakarna, Prakasta, Mamang Murka, dll. Penggunaan tokoh yang sudah ada ini dimaksudkan agar wayang tak kehilangan unsur seni yang sudah sekian lama mengakar di masyarakat. Juga agar masyarakat tak kaget dengan pembaharuan yang terjadi. Pembaharuan pewayangan dilakukan bertahap.

Juga pertunjukan wayang dalam Konferensi Daerah ke IV Lekra Jateng pada Januari 1965. Dimana ada tiga dalang yang bermain secara kolektif, sesuai prinsip kerakyatan yang harus menjunjung prinsip kolektivitas. Wayang sedikit demi sedikit kembali menemukan ritme kerakyatannya.

Pembaharuan pada wayang yang didukung penuh oleh Lekra ini tentu masih menuai protes. Dalam beberapa kesempatan, PKI melalui perwakilannya masih menyebutnya pembaharuan yang belum prinsipil. Belum utuh dan masih nanggung. Selain itu protes juga masih membahana dari beberapa dalang klasik yang berpegang teguh pada prinsip ‘Mahabarata untuk Mahabarata’ atau ‘Ramayana untuk Ramayana’.

Itulah kesenian. Ia adalah buah kreativitas seniman. Menjadi anak kebudayaan rakyat dan bersentuhan langsung dengan realitas rakyat. Dalam perkembangannya kesenian menunjukkan nilai luwesnya ketika berbenturan dengan pelbagai kondisi, selain pendewasaan untuk kesenian itu sendiri. Biarlah wayang dengan masa lalunya yang penuh luka. Biarlah wayang bersama aroma mistis yang mendayu. Ia tetap seni pertunjukan yang sederhana. Mampu menjadi wahana sindiran atas ketimpangan sosial, juga pada penguasa. Dan pada masa kini, biarlah wayang berkembang: jika hanya bertahan dengan pakemnya berarti mati, jika tumbuh dengan bentuk baru berarti hidup.