Hari Senin, selepas
subuhan perjuanganku untuk hidup kumulai. Namaku Abimanyu, asli Sragen, Jawa
Tengah, bekerja di Surabaya. Orang tuaku menamaiku Abimanyu mungkin dengan
harapan agar aku segagah Raden Abimanyu dalam cerita wayang. Kenyataan ternyata
tak setuju, lha wong nyatanya aku tak
gagah. Lebih condong ke pas-pasan,
bukan cuma tampang, bahkan postur, dan dompetku.
Matahari
masih malas di tempatnya, saat aku mulai memanasi motorku yang tak bertuan. Ya,
tak bertuan, BPKB hilang, pajak kendaraan pun sudah lama kutinggalkan, uang
selalu ludes untuk upeti ke juragan kos dan makan sehari-hari.
“Udah
siap-siap mau kerja, Bi?”, tanya teman satu kosku.
“Waa,iya
mas.”,sambungku sambil memegang tuas gas sepeda motorku.
“Sini
ngopi dulu, ngrokok biar melek matanya!”.
Wah,
rejeki ini, pikirku. Kumatikan motorku, dengan semangat aku menghampirinya.
Namanya Wisnu, manajer di salah satu restoran Jepang di Surabaya, seseoramg yg
menjadi kawan dan kadang lawanku dalam diskusi malam di kos, sekaligus tempatku
bercerita tentang asam manis hidup.
Kopiku
aku habiskan, rokok pemberian Mas Wisnu aku sedot dalam-dalam sampai ke filter.
“Aku
berangkat dulu, mas.”
“iya-iya,
silahkan, ati-ati lho di jalan.”, katanya.
Kupersiapkan
tasku, tak banyak isinya, buku kecil, beberapa sobekan kertas, dan bolpoin.
Maklum, aku staff rendahan di salah satu kantor advertising di Surabaya.
Aku
duduk di motor, ku-nyamankan posisiku, dan berangkat. Kantor tak begitu jauh
dari tempatku. Kupaksa motorku berlari, walaupun kadang tersendat. Tak banyak
yg kupikirkan selama perjalanan, kecuali perut yg sudah mulai melilit minta
sarapan.
Singkat
perjalanan, aku tiba di kantor.
“Bismillah.”,bisikku
pelan sambil memasuki pintu kantor.
Aku
selalu datang lebih awal di kantor, bahkan receptionist belum bersemayam di
tempatnya. Jadi, aku melenngang indah tanpa sambutan memasuki kantor, kecuali
sambutan dari Pak Kus,satpam kantor yg berada di depan gerbang.
Jam
sudah menunjukkan jam setengah 8, karyawan satu persatu mulai datang. Aku duduk
sambil membaca koran di ruanganku. Jangan dikira ruangan nyaman. Ruanganku
sempit, dan masih dijejali dua mesin fotokopi. Inilah tempatku, singgasana
tanpa kursi raja, tanpa tahta, dan mahkota.
“Gayamu,
kok mbaca koran, kayak wong yes saja.”terdengar tiba-tiba.
“Welhaa gasut tenan,memang kenapa, Ndar?Ndak
boleh aku baca koran?Ngagetin saja koen.”balasku.
“Mending
kamu siap-siap, itu mesin fotokopi di-cek dulu,biar nanti tinggal pake.”sambung Kandar sambil masuk dan
meletakkan tasnya.
Kandar
rekan kerjaku, dan rekan senasib, asli Surabaya. Karena suatu keharusan dari
Tuhan jadi dia kerja satu ruang denganku. Dia juga staff rendahan, tukang
fotokopi kantor sama sepertiku.
“Eh,
Nyu, kabar dari burung, hari ini mau ada rapat besar di kantor.”, Kandar
memulai.
“Halah rapat opo sih, Ndar?. Paling ya rapat biasa, mbahas investasi dan modal
dari para pembesar, kita tidak diperankan di situ.”, balasku.
“Koen dibilangin kok ngeyel.”,sambungnya dengan nada kesal.
“Nyukk,
fotokopikan berkas ini, rangkap empat, sekalian dijilid!”, perintah seseorang
yg datang tiba-tiba.
“Maaf,
mas. Nama saya Abimanyu bukan Abimanyuk!”,tegasku.
“Sak karepmulah, cepet ini berkas penting,
nanti kalau sudah, antar ke ruang rapat.”,lalu dia pergi.
“Jangkrikkk! Baru jadi karyawan kontrak
sombongnya melebihi langit.”, gerutuku.
“Wis-wis, sabar. Sudah jadi logatnya Si
Hasim, Nyu.”, Kandar menenangkan.
Dengan
rasa mangkel yg tidak sedikit, aku
kerjakan perintah Hasim. Tanpa memperhatikan isi berkas tak terlalu tebal itu,
aku fotokopi satu demi satu. Hati ini masih berselimut rasa dongkol.
Barang
limabelas menit berkas sudah selesai difotokopi rangkap empat plus jilid, dan
cepat-cepat kuantarkan ke ruang rapat.
Sampai
aku didepan ruang rapat, dari luar kelihatan anggota rapat sudah siap di kursi
nyamannya. Ruang rapat cuma dibatasi dinding kaca bertirai, saat itu tirai tak
ditutup, jadi aku leluasa melihat dalamnya. Kuketuk pintunya dan suara
mempersilahkan terdengar dari dalam.Suara yg tak asing..
“Ini
diletakkan dimana, Pak?”, tanyaku kepada pimpinan kantor.
“Itu
berkas dari Hasim?”,tanyanya balik.
“Iya,
pak.”,jawabku singkat.
“Letakkan
saja di meja dekat LCD.”
Aku
perhatikan tulisan di LCD sebentar, meletakkan tumpukan berkas, lalu permisi.
Berjalan lah aku kembali ke ruangku di belakang. Kandar masih menunggu disana.
“Udah,
Nyu?”,tanya Kandar sesampainya aku di ruang fotokopi.
“Sudah,kenapa?”.
“Kita
ngopi saja di warung sebelah, sambil sarapan. Lagian kita nggak ada kerjaan disini, karyawan sebagian rapat, sebagian lagi yg
ndak ikut rapat pada nggosip, tidak mungkin ada yg minta
difotokopikan.”,sahut Kandar sekenanya.
Aku
setuju dengan usulan Kandar. Berangkat juga kami berdua ke warung di samping
kantor. Kami sarapan seadanya, minum air putih pun cukup. Lalu memesan kopi dan
minta rokok eceran sebagai pelengkap ngobrol.
“Ndar,
kelihatannya rapat tadi memang benar-benar rapat penting. Tadi aku lihat
presentasinya, topiknya membahas pemasukan-pengeluaran kantor.”, aku memulai.
“Nah
kan, bener tho. Tadi pagi aku bilang
apa? Ini rapat penting!”,balasnya agak sewot.
“Kira-kira
mbahas apa ya?”,tanyaku.
“Ya
membahas pemasukan dan pengeluaran kantor, koen
iku gimana? Ndak inget kamu
berita beberapa hari yg lalu, tentang salah satu atasan kita yg korupsi uang
kantor, kantor kita ini sedang dilanda pageblug,
rugi besar, kesusahan. Pasti anggota rapat cari solusi mengurangi kerugian
kantor. Sudah jelas itu nanti lama rapatnya.”,jawab Kandar sambil bersiap
menyalakan rokoknya.
“Memang
atasan gila, jaman edan. Bukan uangnya
kok ya dimakan.”, umpatku.
Lalu
aku terdiam, membayangkan situasi di dalam ruang rapat, apa saja yg terjadi.
Anganku meninggi. Kuhisap rokokku dalam, agar anganku terhenti.
“Lulusan SLTA, karyawan rendahan,kok
ikut-ikutan?”,gugat pikiranku.
Cukup
lama aku dan Kandar ngobrol di warung, mulai ngobrol tentang kantor, pendidikan,
politik, dan batu akik yg jadi dewa zaman sekarang ini. Hampir dua jam lebih
kami di warung.
Kembali
ke kantor menjadi keputusan akhir. Aku rasa rapat sudah selesai, selain itu
sudah masuk waktu dzuhur, dan kami harus mulai bersiap kalau ada karyawan yg
minta di fotokopikan.
Benar
saja, ketika aku berjalan ke tempatku, terlihat anggota rapat yg berbincang
keluar dari ruang rapat. Mereka memandangku tanpa senyum, entahlah maksudnya
apa. Sudah sering seperti itu, dan memang aku yg harus tersenyum untuk menyapa
terlebih dahulu.
Jam
ruanganku memperlihatkan pukul dua lebih sepuluh. Aku duduk di dekat rak berisi
kertas HVS kosong, Kandar sibuk membersihkan potongan kertas sisa berkas yg
kujilid pagi tadi. Sedang aku, berusaha melihat kanan kiri mencari koranku. Ada
artikel menarik yg membahas tentang perusahaan kapitalis di Indonesia yg belum
selesai kubaca, walaupun aku tak mengerti sepenuhnya tapi aku meraba-raba
maksud dari artikel tersebut. Dan tiba-tiba...
“Mas
Abi, kesini, mas!”, suara itu mengagetkanku dan Kandar.
Ternyata
Bu Murti yg memanggilku, dia asisten pimpinan kantorku.
“Iya,
Bu. Ada apa? Fotokopi?”, tanyaku.
“Ini,
mas, hasil rapat tadi, saya permisi.”, jawab Bu Murti terburu-buru.
Pikiranku
melompat-lompat, heran, kok tumben hasil rapat disampaikan padaku. Aku
keluarkan dari amplop dan kubuka lipatannya.
“Duh
Gusti.”, kataku spontan dalam hati.
Kandar
yg melihat ekspresiku lalu mendekat, dan menarik kertas di tanganku. Membacanya
kemudian..
“Nyu,
tabah. Bukan rejekimu.”, dia menasehatiku.
“Yasudah
mau bagaimana lagi, kodratnya pegawai rendahan, ya harus siap di-PHK
tiba-tiba.”, sambungku sambil tersenyum palsu.
Tanpa
pikir panjang aku rapikan tasku, berpamitan dengan Kandar dan berjalan keluar
kantor. Aku berusaha tabah. Aku seperti ditendang keras keluar, pemecatan yg
hanya lewat kertas fotokopian, dan mungkin itu kertas yg aku fotokopi tadi pagi.
Sedang uang pesangon sepeser pun tidak kuterima, mungkin uang kantor sudah
habis dimakan setan kantor.
Ternyata ada juga beberapa karyawan yg
dipecat, aku mellihat itu selama berjalan keluar kantor. Ada yg duduk termenung
di kursinya, yg wanita menangis, dan masih banyak reaksi keterpurukan yg
menyedihkan. Tanpa berpamitan dengan atasanku aku keluar kantor, meraih sepeda
motorku dan berangsur keluar gerbang. Pak Kus yg tersenyum menyapaku sudah tak
kuhiraukan.
Di
pikiranku terlintas, “Inikah cara menanggulangi kerugian kantor?.”
Dalam
perjalanan pulang pikiranku semakin carut marut. Salah apa aku? Atasanku yg
menelan uang kantor sehingga menyebabkan kerugian besar, tapi aku yg dapat
ampasnya. “Sial tenan.”, pikirku.
Sesampainya
di kos sudah masuk waktu Ashar, Mas Wisnu ternyata juga baru pulang kerja.
“Masih
sore kok kecut tenan wajahmu, Bi.”,
sapanya sambil melepas sepatu.
“Ah,
ndak, perasaanmu mas.”,jawabku
menutupi.
Kuparkir
sepeda motorku, melepas sepatu, dan masuk kamar tanpa terlalu memperhatikan Mas
Wisnu yg pasti tahu bahwa aku sedang tertimpa asamnya hidup.
Kamarku
terasa tak cukup untuk menampung kecewaku. Kali ini aku benar-benar kacau,
hilang sudah kendali pikiranku, bingung. Untuk berjalan mondar mandir layaknya
orang bingung pun aku tidak mampu. Alhasil, aku hanya diam. Cuma hidung,mata yg
berkedip, paru-paru, jantung, dan organ dalamku yg tidak diam. Cukup lama aku
di dalam kamar, sampai maghrib kira-kira,entahlah..
Aku
putuskan untuk berdiri, membuka pintu kamar, dan berjalan keluar. Kagetku bukan
main ketika Mas Wisnu sudah duduk di kursi depan kamarku. Dua gelas kopi di
meja kecil, tepat di depannya. Bak tukang ramal perasaan, dia seakan tau apa yg
kurasakan. Orang macam apa ini, pikirku.
“Sini,
cerita!”, dia langsung menyambar.
Aku
memang bukan aktor, tak mampu menyembunyikan apa yg ada dalam pikiranku, atau
memang orang ini yg terlalu pintar meraba pikiranku. Aku duduk di dekatnya.
Tanpa dipersilahkan kuminum kopi yg disediakannya, entah itu panas atau tidak.
Mati rasa sudah panca indra-ku. Dia nyalakan rokoknya dan menawarkan juga
untukku. Tak kenal lagi aku kata sungkan, kuterima rokoknya dan kunyalakan.
Kami tenggelam, barang lima belas menit dengan rokok kami masing-masing.
“Aku
dipecat, mas.”, kataku spontan.
“Ya
cari kerjaan lain kalau masih mau hidup. Atasanmu korup?”,tanya-nya.
“Dengar
darimana, mas?”, tanyaku balik.
“Beberapa
hari yg lalu kan masuk koran. Jangan lama-lama sedihmu. Sedih itu mbok yg secukupnya saja. Ingat sama Sang
Pencipta baru sebanyak-banyaknya,bersyukur
koen. Ingat, kalau ndak ada
kesusahan, itu berarti surga, bukan hidup.
Lha wong ini hidup, sudah sepantasnya ada kesusahan datang.”, wejangan
keluar dari mulut bijaksananya.
Mas
Wisnu menepuk pundakku dan pergi masuk ke kamarnya. Aku diam, kembali dalam
lamunan panjang........
Ini Hidup,
Bukan Surga