Jumat, 25 Desember 2015

Arus Baru

    

   Sebentar lagi tahun baru. Sudah terbayang ramenya, atau mungkin macetnya. Terbayang juga tahun baru jalan kemana, sama siapa, yolandaa....hehehu. Atau malah susah, belum punya bayangan? Tenang, tahun baru ya tahun baru kok, ya wis kayak tahun  baru yg lalu-lalu.
     Membahas yg berbau tentang baru, termasuk baju baru, tahun baru, gadget baru, dan sebagainya, sebenarnya harus nggak sih itu? Primer atau sekunder? Atau malah tersier? Ya tergantung, tiap individu pasti punya pendapat, rasanya kok kurang bermanfaat kalau jadi bahan debat.
     Tapi, bagaimana kalau istilah 'baru' sudah menjadi kecenderungan, gaya hidup, misal menjadi salah satu faktor penunjang percaya diri, atau metode untuk gengsi-gengsian? Ini yg mengganjal, masak iya mau nurutin yg baru terus? Layo tidak ada habisnya to yo. Paling nanti kalau produsen sudah kehabisan stok ide baru, kembali lagi ke model lama, cuma dipoles dikit -misal pakaian- atau promosi diskon besar-besaran.
     Saya tak cerita dulu ini, katanya PR terbesar manusia adalah menemukan dirinya sendiri. Gimana ini? Gimana cara menemukan diri sendiri yg bener-bener otentik? Sedangkan diri kita ini selalu mlayu rono-rene keseret barang anyar (read: lari sana-sini terbawa barang baru). Masak harus menolak, kampanye besar-besaran, pakai #tolakbarangbaru, ya ndak mungkin.. Kelihatannya malah jadi garis keras, ngeri. Selain itu, sudah kodrat kalau manusia suka berinovasi, yg baru tadi, tambah sulit ini...
     Kalimatnya gini, kita suka dengan yg baru-baru, tapi kalau terbuai kebaruan kita akan kewalahan karena tidak ada habisnya dan tidak akan ketemu dengan kita yg asli, padahal PR terbesar kita adalah sadar siapa kita. Gitu ? Kira-kira gitu. 
     Jangan salahkan kebaruan, itu kan memang sudah pasti, jelas harus ada. Yg harus dilakukan adalah menampung kebaruan. Jadilah lautan, yg menampung semua bentuk kebaruan. Tapi jangan pernah membiarkan kebaruan menjadi diri kita, biarkan dia menjadi bagian dari kita... Naa, kata kuncinya 'bagian dari diri kita'. Tidak perlu menutup diri, selalu sadar saja bahwa itu hanya bagian. 
     Selama kita sadar itu bagian dari diri kita, aman sudah. Kita akan kuat sebagai individu, kelompok, bahkan bangsa. Kita akan tahu apa yg dibutuhkan. Akan punya sikap, akan ketemu siapa diri kita sebenarnya, tapi tidak buta akan inovasi. Yg lama kan belum tentu jelek. 
     Selamat menyongsong tahun baru dan kebaruan lainnya, tetap pede, dan jangan minder jadi kita.. iya kita.... 
     

Jumat, 16 Oktober 2015

The Puno On The Way (Punakawan OTW)



                Di antara beberapa cecekan rokok, hehe. Saya mengawali lagi obrolan yang kemarin sempat berakhir. Masih berputar pada wayang, masih soal Punakawan. Mari dikupas lagi memori tentang Punakawan, kita diskusikan apa saja yang kita tahu tentang Punakawan. Kemarin, saya sudah coba bahas dikit-dikit tentang Om Semar, kali ini ganti pada anak-anak angkatnya, Gareng, Petruk, sama Bagong.
                Gareng, Petruk, Bagong... Jelas jauh dari kata tampan. Bahkan jika dikatakan mereka itu jelek, itu merupakan sindiran bagi mereka. Perawakannya lebih pantas disebut unik, tidak seperti umumnya manusia. Ya, memang mereka bukan manusia pada mulanya. Masing-masing dulunya adalah raja jin. Mereka sakti, mereka mampu memporak-porandakan kahyangan dengan polahnya yang ugal-ugalan. Kenapa mereka akhirnya menjadi anak Semar? Karena hanya Semar yang sanggup membuat mereka bersimpuh tanpa daya. Mungkin hanya dengan kentut Semar yang simpel, mereka takhluk tanpa syarat. Selanjutnya mereka mengabdikan diri pada kebaikan, manut dengan petuah Semar dan ikut menjadi pamong bagi Amarta.
                Di sinilah mulanya Gareng, Petruk, Bagong berproses, dari Diyu yaitu keburukan, memasuki Pangruwating, maksudnya berpsoses menjadi lebih baik, menuju kebenaran yang sebenarnya, menuju kesejatian hidup, nyawiji atau menjadi satu dengan dimensi Sang Khalik.
                Proses, dari rupa menuju makna, dari raga menuju rasa, dari dua menjadi nyawiji tentu berbeda pada setiap individunya. Digambarkan oleh Punakawan, pemikiran antara Gareng, Petruk, Bagong tentunya berbeda, sikap mereka dalam menghadapi kasus kehidupan tentu juga lain. Tapi pegangan mereka sama, yaitu menuju kebenaran yang tunggal, menuju Tuhan, terus mencari Tuhan dan suatu saat Tuhan akan menyambangi mereka.
                Pelajaran ini yang sebenarnya ingin Punakawan sampaikan pada tiap kesempatan, saat mereka tampil dalam pergelaran wayang, atau pergelaran budaya lainnya. Nilai ini pula yang terkandung dalam Serat Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, sastra jawa kuno yang mengajarkan kearifan untuk kehidupan. Bagaimana kita menghargai proses, mencintai proses, bahwa kita hidup itu adalah juga proses.Tak akan ada manusia yang ideal, manusia yang paling benar, karena kita adalah individu yang sama-sama sedang dalam proses.
                Perjalanan manusia dari rupa menuju makna, bisa disebut ngabstrak, tidak jelas bentuknya, tapi dengan berkali-kali turunan dan persamaan, akan terlihat polanya, akan muncul sebab akibat, makna hidup akan sedikit demi sedikit terlihat. Tentu membutuhkan waktu, dan memang manusia ada dalam kuasa proses, hasil tentu bukan kuasa kita.
                Berkaca pada Punakawan, mereka mulanya adalah angkara murka yang akhirnya mengabdi pada kebaikan. Memang dunia nyata pun bisa seperti itu, keburukan tak selamanya buruk. Tokoh filsuf biasa berkata, bahwa keburukan itu tidak ada, kalaupun keburukan itu ada, disebabkan karena tidak adanya kebaikan. Jika kebaikan dimunculkan, jika kebaikan sudah ditemukan maka akan dengan sendirinya keburukan itu sirna, mlipir, dan memang begitu kenyataannya.
                Laaaa, sayangnya, kita sekarang hidup pada waktu di mana kita diajarkan untuk mengutuk keburukan. Ya jelas saja percuma, kita hanya bisa mengutuk barang yang tidak ada. Mau dikutuk sampai kapan itu keburukan? Ya tetap saja percuma.
                Sudah jelas permasalahan kita sekarang, kenapa banyak orang yang semakin sibuk mengkafirkan orang lain, jawabannya ada di atas.Hehe.
                Angkara murka memang dihakikatkan untuk timbul di dunia. Kadang angkara murka mampir pada segelintir atau banyak orang. Manusia berbuat baik pada sang angkara murka bukan lagi hal yang mungkin dilakukan, tapi harus dilakukan. Bahwa se-angkara apapun suatu hal, selalu ada waktu dimana dia akan berproses menuju pangastuti atau kebajikan.
                Akhirnya, sari dari huruf-huruf di atas adalah PROSES. Karena kita sedang berproses maka tetaplah meminta, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”, seperti yang ada dalam Al-Fatihah. Saran saya untuk mereka yang sudah jago mengkafirkan orang lain, yang sudah pinter bakar tempat ibadah.., jangan lagi sholat, jangan ke gereja, jangan ke pura, jangan ibadah, jangan berbuat baik. Sudah hidup saja, wong hidup sampean udah bener kan? Heheheuu

Minggu, 20 September 2015

Wayang Demo Krasi



                Semula saya hanya sering mendengar, atau membaca. Lalu masuk ke fase selanjutnya mulai geli, gatal, dll. Kurang nyaman ketika mendengar kata demokrasi – bukan karena anti demokrasi – tapi lebih karena penggunaannya yg tidak sesuai esensinya, hanya dijadikan legitimasi dan perpanjangan tangan dari kampanye (biasanya).
                Heheh, sedikit lebih berat dari tulisan saya yg lalu-lalu, tapi ini bukan karena saya sedang kurang tidur tapi karena saya sudah tidak bisa menahan gatal.
                Demokrasi, muaranya dari kata Yunani. Mungkin sudah lama bergentayangan, mondar-mandir di ruang semesta bahkan sebelum istilah ini ditemukan. Beberapa cerita kuno sudah mengucurkan sedikit cairan esensi demokrasi pada alurnya, padahal istilah demokrasi belum masuk di kamus dunia. Karena terpengaruh cerita wayang, maka ini kali saya ambil wayang sebagai contoh cerita kuno itu.
                (jangan serius, minum dulu kopimu..)
                Entah kapan pastinya wayang ikut campur dalam dunia sastra Nusantara, namun sudah jelas bahwa wayang adalah kisah klasik dari India. Entah pula, apa yg ada dalam pikiran si pujangga jaman dulu sehingga menambah beberapa tokoh dalam pewayangan. Seperti contoh Punakawan, Semar,  Gareng, Petruk, Bagong. Saya curiga, ada niat baik dari si pujangga, dia berpesan pada kita agar jangan menerima semua hal yg masuk dengan mentah, apalagi dengan menutup mata. Sesuaikan jika itu diperlukan! Begitu pede-nya kita pada jaman dahulu, sehingga yg mulanya bukan kita, diolah menjadi kita.
                Dari wujud Punakawan, kita memperoleh pelajaran demokrasi pertama. Bahwa Punakawan sebagai replika rakyat adalah pemegang kuasa, dan diperbolehkan yg bawah mengkritik yg atas. Seperti sendok untuk makan, sendok dibawah, tapi ia leluasa me-nyendok yg di atasnya dan membawanya kemana saja..heheh.. Terlepas dari Gareng, Petruk, Bagong sebagai Pangruwating Diyu, dan Semar sebagai perwujudan Sang Hyang Ismaya itu hal lain, nanti kapan-kapan tak ajak ngobrol lagi..
                Punakawan terlihat jenaka, tapi itu hanya ampasnya saja. Berpolah seperti bocah, tak tau apa tentang apa, namun akalnya tak pernah tidak matematis. Memproses input lalu keluar sebagai output yg terbias ringan, tapi bermutu. Sehingga kritik mereka selalu sampai bukan hanya pada si pemimpin ketika bangun, tapi sampai si pemimpin tidur pun, mimpinya masih seputar kritik cerdas dari si Punakawan. Hubungannya dengan kita, pada jaman yg katanya demokrasi ini, jika sudah sepakat dengan suatu perjanjian, yaaa hendaknya saling tepo sliro-lah, tenggang rasa. Si pemimpin tidak menggunakan kekuasaan untuk menguasai, karena rakyat butuh pemimpin bukan penguasa. Pada Punakawan terlihat jika mereka mengkrtitik tidak hanya dengan pedas tapi juga cerdas. Ingat juga ketika sedang mengkritik, jangan berpikir nanti akan dibaca mereka, yg penting kritik dengan cerdas, Bung!
                Sebanding dengan Punakawan, si Bima satria kondang di kasanah pewayangan yg selalu ngoko dengan siapa saja. Dalam benak Bima, demokrasi adalah tentang kasih sayang. Bahwa kasih sayang tidak tentang tutur kata yg sopan tapi tentang hati ke hati. Dengan ngoko, tidak berarti Bima tidak menghormati dan tidak berkasih sayang, tapi lebih kepada menganggap semua manusia ya manusia. Menghormati dan berkasih sayang tidak harus dengan sopan santun. Bukti lagi bahwa wayang adalah pelajaran tentang demokrasi, para sesepuh Bima seperti Kresna juga menghargai sikap Bima yg memilih ngoko pada siapa saja. Kresna pun tahu sebenarnya Bima adalah satria penuh kasih sayang, bahkan Bima memiliki hati yg lembut walaupun badannya keras penuh otot. Hanya saja memang Bima tidak menunjukkannya dengan tutur kata. Ketika sopan santun dijadikan tolak ukur suatu penghormatan maka yg terjadi seperti sekarang, sopan santun hanya dijadikan topeng, tidak datang dari rasa, tapi cuma dari raga.
                Lalu, apa kita sekarang berdemokrasi? Jika kita masih benci dengan orang yg memilih jalan berbeda. Apa kita berdemokrasi? Jika kita menggunakan tipu daya sebagai legitimasi kuasa. Masak iya kita berdemokrasi? Kalau pengambilan keputusan dilaksanakan secara sepihak dengan dalih supaya praktis. Hehe, banyak pertanyaan yg harus kita kutip sendiri. Tapi tidak enak juga jika terlalu panjang. Mari mengutip pertanyaan dalam keseharian masing-masing. Tetap belajar menjadi Nusantara yg percaya diri, jangan mau dipaksa menjadi yg lain. Karena ayam yg mau dipaksa menjadi bebek, akan merasa bahwa dirinya bebek tapi berbadan ayam.. Heheheeu..


Rabu, 08 April 2015

Serat Centhini, Amongraga

Kekasih, sak dawaning ukur ana teka ana lunga
Ananging, sarira tansah mlampah dewe-dewe
Tak gawa raga mami, anetepi agunging Suluk
Diajeng, sliramu sing dadi kidung laras suluk punika
Ingsun ngira dalem sumingkir
Kang sejati dalem ngambara sak jroning ingsun

Kekasih, sepanjang jalan ada perjumpaan dan perpisahan
Tetapi, kita berjalan sendiri-sendiri
Kubawa ragaku menempuh kemegahan suluk
Dan kamulah tembang laras suluk itu
Kau mengira aku pergi
Padahal aku mengembara dalam dirimu

Sabtu, 28 Maret 2015

Cerita untuk Sebuah Nama

Ijinkan sahaya menutur sebuah cerita
Atau boleh dikata, merima sebuah cerita
Jangan bandingkan dengan syair punya Rendra
Yang tentu lebih indah tata katanya

Ini cerita
Cerita untuk sebuah nama
Nama yang telah lama tak kudengar
Sunyi, kosong

Aku datang namun kau pergi
Aku menyelam namun kau menepi
Kau bilang berhenti!
Tapi ketahuilah bahwa bibir sahaya tetap bernyanyi

Bernyanyi untukmu
Menyanyikan cerita yg menjadi susunan nada
Nyanyian yg bukan tanpa makna
Dengarlah, maka kau akan tau apa

Jumat, 13 Maret 2015

Kinan



                Kumulai malam, coklat panas, sebungkus rokok, dan komputer di hadapanku. Beberapa bulan belakangan jika malam datang rutinitasku hanya semacam ini. Berjam-jam aku habiskan hanya untuk memandang layar dan menghisap rokok. Kadang atap kamarku seperti akan terbang karena sudah tak sanggup menahan asap rokok yg keluar dari mulutku.
            Ada satu yg membuatku begitu gandrung dengan komputer belakangan ini, jaringan internet, dan ada satu hal yg membuatku gandrung pada jaringan internet, media sosial, dan yg membuatku candu dengan media sosial adalah dia. Apa saja tentang dia, tulisan blog-nya selalu aku baca, twitter, instagram pun tak luput dari perhatianku, karena itu yg membuatku bisa melihatnya dengan leluasa. Lebih dari sepertiga malam aku habiskan untuk itu-itu saja.
            “Wisang, belum tidur kamu, nak?” teriak mamaku dari luar kamar.
            “Belum, ma, bentar lagi.” sahutku.
            “Besok kuliah?”
            “Kuliah.” jawabku singkat, lalu tak terdengar lagi suara mamaku.
            Aku lanjutkan kegiatanku, kali ini aku hentikan pandang mata dari aktifitas si dia di dunia maya, dan berganti untuk mengerjakan tugas kuliah, beberapa makalah dan resume. Kuliah sastra memang tak lepas dari menulis, seperti yg kukerjakan saat ini.
            Esoknya aku berangkat kuliah, mengayuh sepeda balapku di jalanan Jakarta, masih terhitung sepi ketika aku membesut aspalnya. Udara cukup segar, dan diiringi ramahnya sinar matahari yg hangat, paduan pas karya Maha Pencipta, menambah nikmat perjalananku menuju kampus.
            Di kampus kuliahku berjalan seperti biasa. Dosen, materi, teman-teman akrab, kantin kampus, dan ditambah beberapa tetek bengek perkuliahan lainnya. Sudah mendekati jenuh aku kuliah, dan itu sebabnya aku berusaha menuntaskan semua mata kuliahku di semester enam ini.
            “Kinan.” tiba-tiba keluar dari mulutku.
            “Apa sih?” tanya Suryo, temanku.
            “Dasar phyloginik.” ucap temanku yg lain.
            Aku tak menjawab respon mereka, aku habiskan perhatianku untuk Kinan. Penyita waktu malamku. Gadis perpaduan Jawa-Bali. Bayangkan saja, raut wajah gadis Jawa yg kalem dipadukan dengan gadis Bali yg lugu dan eksotis. Manis, kata yg menancap di pikiranku ketika ia lewat di depan bangku kantin tempat aku duduk. Rambutnya ikal, dengan wajah pribumi yg menawan. Jika di dunia ini memang tak ada yg sempurna, maka mungkin dia yg mendekati sempurna jika dilihat secara fisik.
            “Itu gadis yg kau idamkan dalam beberapa bulan ini, Sang?” celetuk si Suryo.      
            “Siapa bilang?”
            Nge-les lagi, pengecut, ngaku aja.”, timpal Bahar, temanku.
            “Cuma lelaki yg terlalu cinta dengan dirinya sendiri yg tidak mau menyatakan cintanya pada orang lain.”, kata-kata bijak keluar dari mulut Suryo.
            “Kau benar, Sur, mungkin Wisang perlu disunat lagi agar keberaniannya muncul, haha.”,singgung Bahar.
            “Tau apa kalian soal cinta? Apa karir kalian dalam percintaan bisa dipertanggungjawabkan?”
            “Setidaknya aku dan Bahar tau kalau cinta tidak untuk dipendam, dan aku berani bertanggung jawab atas perasaanku sendiri. Nggak  seperti kamu, cuma bisa diam dalam waktu yg lama. Janur kuning belum melengkung, setiap pribadi bebas menyatakan apa yg dirasa, Sang, ingat itu.”, Suryo meneruskan dengan kata-katanya yg ada benarnya.
            “Sudah lah, aku pulang.”, jawabku menyudahi.
            Terdengar tawa teman-temanku ketika aku berjalan meninggalkan mereka. Aku pun sebenarnya menahan tawa. Hampir hilang rasa maluku lantaran sudah terlalu sering ditertawakan. Sudah menjadi hal wajar jika temanku tahu mengenai bab ini, mereka bersamaku dan sekaligus saksi mata ketika aku menjadi pelaku kasus memandang anak orang, bernana Kinan.
            Perjalananku meninggalkan kantin begitu pelan, aku sengaja dan sudah jelas sebabnya. Kusebar pandangku, “Ya, itu dia.”, pikirku. Sekali lagi aku lihat, kali ini yg muncul dalam pikiranku adalah Drupadi yg terkenal rupawan, istri Yudhistira dalam cerita wayang, hanya saja Drupadi yg satu ini sedikit ditambah ciri khas gadis Bali. Pikiranku saja sampai bekerja keras kali ini, tak sanggup aku memadukan dua perpaduan itu, terlalu agung.
            Entah apa maksud Kinan, tiba-tiba dia membalas pandangku, tersenyum dan pipinya merona. Kinan sadar sedang ada oknum yg memanfaatkan keindahannya, dan oknum itu aku. Bukannya tersinggung ia malah tersenyum, justru aku yg menjadi salah tingkah.
            “Ya, Tuhan,  makan apa gadis ini?” pikirku setelah melihat ia tersenyum.
            Mungkin kata indah, manis, dan kata-kata serupa kurang mendefinisikan senyumnya.
            Melesat pulang, aku bertanya-tanya pada Tuhan, apa maksudnya memberikan senyum salah satu umat-Nya bernama Kinan yg memang sudah lama aku dambakan, untuk menghibur hatiku saja, atau isyarat Tuhan agar aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaan? “Entahlah, Tuhan memang belum menjawab.”, kataku dalam pikiran. Bersama napas panjangku aku keluarkan semua prasangka itu, dan kupercepat laju sepedaku.
            “Hai, ma.” sapaku ketika sampai di pelataran rumah.
            “Hai, cowok.” jawab mamaku sambil menggoda.
            “Haha, aku bilangin papa lo.”
            “Bilang sana, mama nggak takut.”
            Kami tenggelam dalam tawa. Aku hampiri mamaku dan duduk di sampingnya, duduk di kursi kecil teras rumah kami. Aku menikmati redupnya sore hari sambil melupakan barang sejenak senyuman indah si Drupadi Bali, sedang mamaku asik dengan hiasan bunga dari manik-manik yg coba ia rangkai. Tak lama setelah itu adikku menyusul kami berdua di teras rumah, senda gurau pun semakin menjadi.
            Malamnya, selepas makan malam, aku keluar rumah. Berniat jalan-jalan mencari suasana baru, tapi suasana tadi siang yg kudapat, ingatanku terlalu kuat untuk mengabaikan kejadian tadi siang. Senyuman Kinan masih menggelayuti pikiranku, bahkan sekarang sudah menggurita di setiap saraf yg menempel di tubuh. Tanpa sadar, aku semakin menikmati ingatan yg satu ini, ingatan yg bercampur mimpi, mimpi yg indah, tapi kacau. “Percuma!”, kataku pelan. Di sisi lain, nuraniku menggugat, apa yg kuperbuat ini benar? Sepedaku kuputar balik, dan pulang, berharap mimpi tentang Kinan tertinggal di jalanan.
            Aku putuskan menghabiskan sisa malam ini di kamarku, lagi. Kunyalakan PC, kuputar playlist favoritku, tak ketinggalan kunyalakan rokok pertamaku malam ini.
            Pikiranku kembali, pikiran yg kukira sudah tertinggal di jalan tadi. Gambaran senyum Kinan sewaktu di kampus ternyata merupakan kata kunci untuk membuka katalog memori tentangnya ke waktu yg lampau, mungkin sekitar enam bulan yg lalu, ketika pertama kali aku melihat dia, Kinan. Waktu itu aku berkesempatan untuk mengenalnya lewat salah satu obrolan forum mahasiswa di media sosial. Aku sadar, saat itulah rasa kagum muncul untuk pertama kali hanya karena melihat fotonya, yg ternyata setelah melalui beberapa pertemuan tak sengaja di kampus, rasa kagum bercampur rasa-rasa lainnya berdialektika menjadi rasa baru yg aku rasakan sampai sekarang ini. Ingatan ketika aku dan dia bertegur sapa untuk pertama kalinya juga tak kalah segar. Satu persatu ingatan tentangnya ter-retorika dengan sendirinya dalam otakku, jika saja otak dalam kepala ini punya mulut, mungkin dia akan marah karena si empunya otak hanya menggunakannya untuk memikirkan gadis manis.
            “Keluar dari pikiranku! Sudah cukup gilaku kali ini.”, ucapku tiba-tiba.
            Suaraku membubarkan lamunan tentangnya. Aku memang sudah geram sekaligus hampir gila. Bagaimana tidak gila, hatinya sudah dihuni orang, lelaki pilihannya, bahkan di jarinya sudah melingkar cincin tunangan, aku tahu itu, tapi aku masih menginginkannya.
            Seberapa besar dosaku jika aku masuk terlalu jauh, meski sebenarnya ini sudah kelewat jauh. Ini teguran dariku untuk diriku sendiri. Sudah lebih dari cukup aku berdiam diri, jika tak berani menyatakan, berani mengakhiri adalah sikap yg tepat, pikirku. Walaupun kata Suryo janur kuning belum melengkung, tapi cincin sudah menyatu dengan jari manis Kinan. Bisa saja setelah lulus atau mungkin sebelum lulus malah, intinya bisa saja dalam waktu dekat Kinan akan mengucap janji sehidup semati untuk pria yg tidak saja berhasil melingkarkan cincin itu di jarinya, tapi melingkarkan cinta di hati Kinan.
            “Ah, ini tidak sia-sia. Ini berjalan atas kehendak Tuhan, ini pemberian Tuhan, tak ada pemberian Tuhan yg sia-sia.”, kataku untuk menenangkan diriku sendiri.
            Tuhan sudah memberiku perasaan ini, memang bukan untuk dinyatakan tapi untuk mendewasakan. Aku menyudahi lamunanku tentangnya, semua tentangnya. Sebisa mungkin aku mengenangkan kejadian tadi siang, aku harus selesaikan pergulatan perasaan ini. Kalau memang mengakhiri perasaan bukan yg terbaik, setidaknya lebih baik daripada menyimpannya dan sewaktu-waktu bisa menjadi granat untuk diri sendiri.
             “Mungkin lusa saja aku buatkan puisi untuk Kinan.” ucapku sambil tersenyum.
            Kuliahku sastra, wajar saja jika puisi menjadi penutup ceritaku dengan Kinan. Kalau saja ini ftv, mungkin di akhir aku akan menikah dengan Kinan, atau minimal sempat menjadi dua sejoli yg bersama-sama kesana dan kemari. Memang ini tidak menjadi kisah indah, tapi ini sudah layak disebut cerita. Cerita untuk sebuah nama, Kinan...



Kinan 


Nb: Ini hanya cerita fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, 
       dan tempat itu bukan merupakan unsur kesengajaan. Tidak 
       ada pelanggaran HAM dalam proses pembuatan, baik itu 
       kepada manusia, hewan, bahkan rumput yg bergoyang.

Jumat, 06 Maret 2015

Ini Hidup, Bukan Surga



            Hari Senin, selepas subuhan perjuanganku untuk hidup kumulai. Namaku Abimanyu, asli Sragen, Jawa Tengah, bekerja di Surabaya. Orang tuaku menamaiku Abimanyu mungkin dengan harapan agar aku segagah Raden Abimanyu dalam cerita wayang. Kenyataan ternyata tak setuju, lha wong nyatanya aku tak gagah. Lebih condong ke pas-pasan, bukan cuma tampang, bahkan postur, dan dompetku.
            Matahari masih malas di tempatnya, saat aku mulai memanasi motorku yang tak bertuan. Ya, tak bertuan, BPKB hilang, pajak kendaraan pun sudah lama kutinggalkan, uang selalu ludes untuk upeti ke juragan kos dan makan sehari-hari.
            “Udah siap-siap mau kerja, Bi?”, tanya teman satu kosku.
            “Waa,iya mas.”,sambungku sambil memegang tuas gas sepeda motorku.
            “Sini ngopi dulu, ngrokok biar melek matanya!”.
            Wah, rejeki ini, pikirku. Kumatikan motorku, dengan semangat aku menghampirinya. Namanya Wisnu, manajer di salah satu restoran Jepang di Surabaya, seseoramg yg menjadi kawan dan kadang lawanku dalam diskusi malam di kos, sekaligus tempatku bercerita tentang asam manis hidup.
            Kopiku aku habiskan, rokok pemberian Mas Wisnu aku sedot dalam-dalam sampai ke filter.
            “Aku berangkat dulu, mas.”
            “iya-iya, silahkan, ati-ati lho di jalan.”, katanya.
            Kupersiapkan tasku, tak banyak isinya, buku kecil, beberapa sobekan kertas, dan bolpoin. Maklum, aku staff rendahan di salah satu kantor advertising di Surabaya.
            Aku duduk di motor, ku-nyamankan posisiku, dan berangkat. Kantor tak begitu jauh dari tempatku. Kupaksa motorku berlari, walaupun kadang tersendat. Tak banyak yg kupikirkan selama perjalanan, kecuali perut yg sudah mulai melilit minta sarapan.
            Singkat perjalanan, aku tiba di kantor.
            “Bismillah.”,bisikku pelan sambil memasuki pintu kantor.
            Aku selalu datang lebih awal di kantor, bahkan receptionist belum bersemayam di tempatnya. Jadi, aku melenngang indah tanpa sambutan memasuki kantor, kecuali sambutan dari Pak Kus,satpam kantor yg berada di depan gerbang.
            Jam sudah menunjukkan jam setengah 8, karyawan satu persatu mulai datang. Aku duduk sambil membaca koran di ruanganku. Jangan dikira ruangan nyaman. Ruanganku sempit, dan masih dijejali dua mesin fotokopi. Inilah tempatku, singgasana tanpa kursi raja, tanpa tahta, dan mahkota.
            “Gayamu, kok mbaca koran, kayak wong yes saja.”terdengar tiba-tiba.
            Welhaa gasut tenan,memang kenapa, Ndar?Ndak boleh aku baca koran?Ngagetin saja koen.”balasku.
            “Mending kamu siap-siap, itu mesin fotokopi di-cek dulu,biar nanti tinggal pake.”sambung Kandar sambil masuk dan meletakkan tasnya.
            Kandar rekan kerjaku, dan rekan senasib, asli Surabaya. Karena suatu keharusan dari Tuhan jadi dia kerja satu ruang denganku. Dia juga staff rendahan, tukang fotokopi kantor sama sepertiku.  
            “Eh, Nyu, kabar dari burung, hari ini mau ada rapat besar di kantor.”, Kandar memulai.
            Halah rapat opo sih, Ndar?. Paling ya rapat biasa, mbahas investasi dan modal dari para pembesar, kita tidak diperankan di situ.”, balasku.
            Koen dibilangin kok ngeyel.”,sambungnya dengan nada kesal.
            “Nyukk, fotokopikan berkas ini, rangkap empat, sekalian dijilid!”, perintah seseorang yg datang tiba-tiba.
            “Maaf, mas. Nama saya Abimanyu bukan Abimanyuk!”,tegasku.
            Sak karepmulah, cepet ini berkas penting, nanti kalau sudah, antar ke ruang rapat.”,lalu dia pergi.
            Jangkrikkk! Baru jadi karyawan kontrak sombongnya melebihi langit.”, gerutuku.
            Wis-wis, sabar. Sudah jadi logatnya Si Hasim, Nyu.”, Kandar menenangkan.
            Dengan rasa mangkel yg tidak sedikit, aku kerjakan perintah Hasim. Tanpa memperhatikan isi berkas tak terlalu tebal itu, aku fotokopi satu demi satu. Hati ini masih berselimut rasa dongkol. 
            Barang limabelas menit berkas sudah selesai difotokopi rangkap empat plus jilid, dan cepat-cepat kuantarkan ke ruang rapat.
            Sampai aku didepan ruang rapat, dari luar kelihatan anggota rapat sudah siap di kursi nyamannya. Ruang rapat cuma dibatasi dinding kaca bertirai, saat itu tirai tak ditutup, jadi aku leluasa melihat dalamnya. Kuketuk pintunya dan suara mempersilahkan terdengar dari dalam.Suara yg tak asing..
            “Ini diletakkan dimana, Pak?”, tanyaku kepada pimpinan kantor.
            “Itu berkas dari Hasim?”,tanyanya balik.
            “Iya, pak.”,jawabku singkat.
            “Letakkan saja di meja dekat LCD.”
            Aku perhatikan tulisan di LCD sebentar, meletakkan tumpukan berkas, lalu permisi. Berjalan lah aku kembali ke ruangku di belakang. Kandar masih menunggu disana.
            “Udah, Nyu?”,tanya Kandar sesampainya aku di ruang fotokopi.
            “Sudah,kenapa?”.
            “Kita ngopi saja di warung sebelah, sambil sarapan. Lagian kita nggak ada kerjaan disini, karyawan sebagian rapat, sebagian lagi yg ndak ikut rapat pada nggosip, tidak mungkin ada yg minta difotokopikan.”,sahut Kandar sekenanya.
            Aku setuju dengan usulan Kandar. Berangkat juga kami berdua ke warung di samping kantor. Kami sarapan seadanya, minum air putih pun cukup. Lalu memesan kopi dan minta rokok eceran sebagai pelengkap ngobrol.
            “Ndar, kelihatannya rapat tadi memang benar-benar rapat penting. Tadi aku lihat presentasinya, topiknya membahas pemasukan-pengeluaran kantor.”, aku memulai.
            “Nah kan, bener tho. Tadi pagi aku bilang apa? Ini rapat penting!”,balasnya agak sewot.
            “Kira-kira mbahas apa ya?”,tanyaku.
            “Ya membahas pemasukan dan pengeluaran kantor, koen iku gimana? Ndak inget kamu berita beberapa hari yg lalu, tentang salah satu atasan kita yg korupsi uang kantor, kantor kita ini sedang dilanda pageblug, rugi besar, kesusahan. Pasti anggota rapat cari solusi mengurangi kerugian kantor. Sudah jelas itu nanti lama rapatnya.”,jawab Kandar sambil bersiap menyalakan rokoknya.
            “Memang atasan gila, jaman edan. Bukan uangnya kok ya dimakan.”, umpatku.
            Lalu aku terdiam, membayangkan situasi di dalam ruang rapat, apa saja yg terjadi. Anganku meninggi. Kuhisap rokokku dalam, agar anganku terhenti.
            “Lulusan SLTA, karyawan rendahan,kok ikut-ikutan?”,gugat pikiranku.
            Cukup lama aku dan Kandar ngobrol di warung, mulai ngobrol tentang kantor, pendidikan, politik, dan batu akik yg jadi dewa zaman sekarang ini. Hampir dua jam lebih kami di warung.
            Kembali ke kantor menjadi keputusan akhir. Aku rasa rapat sudah selesai, selain itu sudah masuk waktu dzuhur, dan kami harus mulai bersiap kalau ada karyawan yg minta di fotokopikan.
            Benar saja, ketika aku berjalan ke tempatku, terlihat anggota rapat yg berbincang keluar dari ruang rapat. Mereka memandangku tanpa senyum, entahlah maksudnya apa. Sudah sering seperti itu, dan memang aku yg harus tersenyum untuk menyapa terlebih dahulu.
            Jam ruanganku memperlihatkan pukul dua lebih sepuluh. Aku duduk di dekat rak berisi kertas HVS kosong, Kandar sibuk membersihkan potongan kertas sisa berkas yg kujilid pagi tadi. Sedang aku, berusaha melihat kanan kiri mencari koranku. Ada artikel menarik yg membahas tentang perusahaan kapitalis di Indonesia yg belum selesai kubaca, walaupun aku tak mengerti sepenuhnya tapi aku meraba-raba maksud dari artikel tersebut. Dan tiba-tiba...
            “Mas Abi, kesini, mas!”, suara itu mengagetkanku dan Kandar.
            Ternyata Bu Murti yg memanggilku, dia asisten pimpinan kantorku.
            “Iya, Bu. Ada apa? Fotokopi?”, tanyaku.
            “Ini, mas, hasil rapat tadi, saya permisi.”, jawab Bu Murti terburu-buru.
            Pikiranku melompat-lompat, heran, kok tumben hasil rapat disampaikan padaku. Aku keluarkan dari amplop dan kubuka lipatannya.
            “Duh Gusti.”, kataku spontan dalam hati.
            Kandar yg melihat ekspresiku lalu mendekat, dan menarik kertas di tanganku. Membacanya kemudian..
            “Nyu, tabah. Bukan rejekimu.”, dia menasehatiku.
            “Yasudah mau bagaimana lagi, kodratnya pegawai rendahan, ya harus siap di-PHK tiba-tiba.”, sambungku sambil tersenyum palsu.
            Tanpa pikir panjang aku rapikan tasku, berpamitan dengan Kandar dan berjalan keluar kantor. Aku berusaha tabah. Aku seperti ditendang keras keluar, pemecatan yg hanya lewat kertas fotokopian, dan mungkin itu kertas yg aku fotokopi tadi pagi. Sedang uang pesangon sepeser pun tidak kuterima, mungkin uang kantor sudah habis dimakan setan kantor.
             Ternyata ada juga beberapa karyawan yg dipecat, aku mellihat itu selama berjalan keluar kantor. Ada yg duduk termenung di kursinya, yg wanita menangis, dan masih banyak reaksi keterpurukan yg menyedihkan. Tanpa berpamitan dengan atasanku aku keluar kantor, meraih sepeda motorku dan berangsur keluar gerbang. Pak Kus yg tersenyum menyapaku sudah tak kuhiraukan.
            Di pikiranku terlintas, “Inikah cara menanggulangi kerugian kantor?.”
            Dalam perjalanan pulang pikiranku semakin carut marut. Salah apa aku? Atasanku yg menelan uang kantor sehingga menyebabkan kerugian besar, tapi aku yg dapat ampasnya.            “Sial tenan.”, pikirku.
            Sesampainya di kos sudah masuk waktu Ashar, Mas Wisnu ternyata juga baru pulang kerja.
            “Masih sore kok kecut tenan wajahmu, Bi.”, sapanya sambil melepas sepatu.
            “Ah, ndak, perasaanmu mas.”,jawabku menutupi.
            Kuparkir sepeda motorku, melepas sepatu, dan masuk kamar tanpa terlalu memperhatikan Mas Wisnu yg pasti tahu bahwa aku sedang tertimpa asamnya hidup.
            Kamarku terasa tak cukup untuk menampung kecewaku. Kali ini aku benar-benar kacau, hilang sudah kendali pikiranku, bingung. Untuk berjalan mondar mandir layaknya orang bingung pun aku tidak mampu. Alhasil, aku hanya diam. Cuma hidung,mata yg berkedip, paru-paru, jantung, dan organ dalamku yg tidak diam. Cukup lama aku di dalam kamar, sampai maghrib kira-kira,entahlah..
            Aku putuskan untuk berdiri, membuka pintu kamar, dan berjalan keluar. Kagetku bukan main ketika Mas Wisnu sudah duduk di kursi depan kamarku. Dua gelas kopi di meja kecil, tepat di depannya. Bak tukang ramal perasaan, dia seakan tau apa yg kurasakan. Orang macam apa ini, pikirku.
            “Sini, cerita!”, dia langsung menyambar.
            Aku memang bukan aktor, tak mampu menyembunyikan apa yg ada dalam pikiranku, atau memang orang ini yg terlalu pintar meraba pikiranku. Aku duduk di dekatnya. Tanpa dipersilahkan kuminum kopi yg disediakannya, entah itu panas atau tidak. Mati rasa sudah panca indra-ku. Dia nyalakan rokoknya dan menawarkan juga untukku. Tak kenal lagi aku kata sungkan, kuterima rokoknya dan kunyalakan. Kami tenggelam, barang lima belas menit dengan rokok kami masing-masing.
            “Aku dipecat, mas.”, kataku spontan.
            “Ya cari kerjaan lain kalau masih mau hidup. Atasanmu korup?”,tanya-nya.
            “Dengar darimana, mas?”, tanyaku balik.
            “Beberapa hari yg lalu kan masuk koran. Jangan lama-lama sedihmu. Sedih itu mbok yg secukupnya saja. Ingat sama Sang Pencipta baru sebanyak-banyaknya,bersyukur koen. Ingat, kalau ndak ada kesusahan, itu berarti surga, bukan hidup. Lha wong ini hidup, sudah sepantasnya ada kesusahan datang.”, wejangan keluar dari mulut bijaksananya.
            Mas Wisnu menepuk pundakku dan pergi masuk ke kamarnya. Aku diam, kembali dalam lamunan panjang........
                                                                                                                                                                                                                                                                                         
  Ini Hidup, Bukan Surga