Jumat, 06 Maret 2015

Ini Hidup, Bukan Surga



            Hari Senin, selepas subuhan perjuanganku untuk hidup kumulai. Namaku Abimanyu, asli Sragen, Jawa Tengah, bekerja di Surabaya. Orang tuaku menamaiku Abimanyu mungkin dengan harapan agar aku segagah Raden Abimanyu dalam cerita wayang. Kenyataan ternyata tak setuju, lha wong nyatanya aku tak gagah. Lebih condong ke pas-pasan, bukan cuma tampang, bahkan postur, dan dompetku.
            Matahari masih malas di tempatnya, saat aku mulai memanasi motorku yang tak bertuan. Ya, tak bertuan, BPKB hilang, pajak kendaraan pun sudah lama kutinggalkan, uang selalu ludes untuk upeti ke juragan kos dan makan sehari-hari.
            “Udah siap-siap mau kerja, Bi?”, tanya teman satu kosku.
            “Waa,iya mas.”,sambungku sambil memegang tuas gas sepeda motorku.
            “Sini ngopi dulu, ngrokok biar melek matanya!”.
            Wah, rejeki ini, pikirku. Kumatikan motorku, dengan semangat aku menghampirinya. Namanya Wisnu, manajer di salah satu restoran Jepang di Surabaya, seseoramg yg menjadi kawan dan kadang lawanku dalam diskusi malam di kos, sekaligus tempatku bercerita tentang asam manis hidup.
            Kopiku aku habiskan, rokok pemberian Mas Wisnu aku sedot dalam-dalam sampai ke filter.
            “Aku berangkat dulu, mas.”
            “iya-iya, silahkan, ati-ati lho di jalan.”, katanya.
            Kupersiapkan tasku, tak banyak isinya, buku kecil, beberapa sobekan kertas, dan bolpoin. Maklum, aku staff rendahan di salah satu kantor advertising di Surabaya.
            Aku duduk di motor, ku-nyamankan posisiku, dan berangkat. Kantor tak begitu jauh dari tempatku. Kupaksa motorku berlari, walaupun kadang tersendat. Tak banyak yg kupikirkan selama perjalanan, kecuali perut yg sudah mulai melilit minta sarapan.
            Singkat perjalanan, aku tiba di kantor.
            “Bismillah.”,bisikku pelan sambil memasuki pintu kantor.
            Aku selalu datang lebih awal di kantor, bahkan receptionist belum bersemayam di tempatnya. Jadi, aku melenngang indah tanpa sambutan memasuki kantor, kecuali sambutan dari Pak Kus,satpam kantor yg berada di depan gerbang.
            Jam sudah menunjukkan jam setengah 8, karyawan satu persatu mulai datang. Aku duduk sambil membaca koran di ruanganku. Jangan dikira ruangan nyaman. Ruanganku sempit, dan masih dijejali dua mesin fotokopi. Inilah tempatku, singgasana tanpa kursi raja, tanpa tahta, dan mahkota.
            “Gayamu, kok mbaca koran, kayak wong yes saja.”terdengar tiba-tiba.
            Welhaa gasut tenan,memang kenapa, Ndar?Ndak boleh aku baca koran?Ngagetin saja koen.”balasku.
            “Mending kamu siap-siap, itu mesin fotokopi di-cek dulu,biar nanti tinggal pake.”sambung Kandar sambil masuk dan meletakkan tasnya.
            Kandar rekan kerjaku, dan rekan senasib, asli Surabaya. Karena suatu keharusan dari Tuhan jadi dia kerja satu ruang denganku. Dia juga staff rendahan, tukang fotokopi kantor sama sepertiku.  
            “Eh, Nyu, kabar dari burung, hari ini mau ada rapat besar di kantor.”, Kandar memulai.
            Halah rapat opo sih, Ndar?. Paling ya rapat biasa, mbahas investasi dan modal dari para pembesar, kita tidak diperankan di situ.”, balasku.
            Koen dibilangin kok ngeyel.”,sambungnya dengan nada kesal.
            “Nyukk, fotokopikan berkas ini, rangkap empat, sekalian dijilid!”, perintah seseorang yg datang tiba-tiba.
            “Maaf, mas. Nama saya Abimanyu bukan Abimanyuk!”,tegasku.
            Sak karepmulah, cepet ini berkas penting, nanti kalau sudah, antar ke ruang rapat.”,lalu dia pergi.
            Jangkrikkk! Baru jadi karyawan kontrak sombongnya melebihi langit.”, gerutuku.
            Wis-wis, sabar. Sudah jadi logatnya Si Hasim, Nyu.”, Kandar menenangkan.
            Dengan rasa mangkel yg tidak sedikit, aku kerjakan perintah Hasim. Tanpa memperhatikan isi berkas tak terlalu tebal itu, aku fotokopi satu demi satu. Hati ini masih berselimut rasa dongkol. 
            Barang limabelas menit berkas sudah selesai difotokopi rangkap empat plus jilid, dan cepat-cepat kuantarkan ke ruang rapat.
            Sampai aku didepan ruang rapat, dari luar kelihatan anggota rapat sudah siap di kursi nyamannya. Ruang rapat cuma dibatasi dinding kaca bertirai, saat itu tirai tak ditutup, jadi aku leluasa melihat dalamnya. Kuketuk pintunya dan suara mempersilahkan terdengar dari dalam.Suara yg tak asing..
            “Ini diletakkan dimana, Pak?”, tanyaku kepada pimpinan kantor.
            “Itu berkas dari Hasim?”,tanyanya balik.
            “Iya, pak.”,jawabku singkat.
            “Letakkan saja di meja dekat LCD.”
            Aku perhatikan tulisan di LCD sebentar, meletakkan tumpukan berkas, lalu permisi. Berjalan lah aku kembali ke ruangku di belakang. Kandar masih menunggu disana.
            “Udah, Nyu?”,tanya Kandar sesampainya aku di ruang fotokopi.
            “Sudah,kenapa?”.
            “Kita ngopi saja di warung sebelah, sambil sarapan. Lagian kita nggak ada kerjaan disini, karyawan sebagian rapat, sebagian lagi yg ndak ikut rapat pada nggosip, tidak mungkin ada yg minta difotokopikan.”,sahut Kandar sekenanya.
            Aku setuju dengan usulan Kandar. Berangkat juga kami berdua ke warung di samping kantor. Kami sarapan seadanya, minum air putih pun cukup. Lalu memesan kopi dan minta rokok eceran sebagai pelengkap ngobrol.
            “Ndar, kelihatannya rapat tadi memang benar-benar rapat penting. Tadi aku lihat presentasinya, topiknya membahas pemasukan-pengeluaran kantor.”, aku memulai.
            “Nah kan, bener tho. Tadi pagi aku bilang apa? Ini rapat penting!”,balasnya agak sewot.
            “Kira-kira mbahas apa ya?”,tanyaku.
            “Ya membahas pemasukan dan pengeluaran kantor, koen iku gimana? Ndak inget kamu berita beberapa hari yg lalu, tentang salah satu atasan kita yg korupsi uang kantor, kantor kita ini sedang dilanda pageblug, rugi besar, kesusahan. Pasti anggota rapat cari solusi mengurangi kerugian kantor. Sudah jelas itu nanti lama rapatnya.”,jawab Kandar sambil bersiap menyalakan rokoknya.
            “Memang atasan gila, jaman edan. Bukan uangnya kok ya dimakan.”, umpatku.
            Lalu aku terdiam, membayangkan situasi di dalam ruang rapat, apa saja yg terjadi. Anganku meninggi. Kuhisap rokokku dalam, agar anganku terhenti.
            “Lulusan SLTA, karyawan rendahan,kok ikut-ikutan?”,gugat pikiranku.
            Cukup lama aku dan Kandar ngobrol di warung, mulai ngobrol tentang kantor, pendidikan, politik, dan batu akik yg jadi dewa zaman sekarang ini. Hampir dua jam lebih kami di warung.
            Kembali ke kantor menjadi keputusan akhir. Aku rasa rapat sudah selesai, selain itu sudah masuk waktu dzuhur, dan kami harus mulai bersiap kalau ada karyawan yg minta di fotokopikan.
            Benar saja, ketika aku berjalan ke tempatku, terlihat anggota rapat yg berbincang keluar dari ruang rapat. Mereka memandangku tanpa senyum, entahlah maksudnya apa. Sudah sering seperti itu, dan memang aku yg harus tersenyum untuk menyapa terlebih dahulu.
            Jam ruanganku memperlihatkan pukul dua lebih sepuluh. Aku duduk di dekat rak berisi kertas HVS kosong, Kandar sibuk membersihkan potongan kertas sisa berkas yg kujilid pagi tadi. Sedang aku, berusaha melihat kanan kiri mencari koranku. Ada artikel menarik yg membahas tentang perusahaan kapitalis di Indonesia yg belum selesai kubaca, walaupun aku tak mengerti sepenuhnya tapi aku meraba-raba maksud dari artikel tersebut. Dan tiba-tiba...
            “Mas Abi, kesini, mas!”, suara itu mengagetkanku dan Kandar.
            Ternyata Bu Murti yg memanggilku, dia asisten pimpinan kantorku.
            “Iya, Bu. Ada apa? Fotokopi?”, tanyaku.
            “Ini, mas, hasil rapat tadi, saya permisi.”, jawab Bu Murti terburu-buru.
            Pikiranku melompat-lompat, heran, kok tumben hasil rapat disampaikan padaku. Aku keluarkan dari amplop dan kubuka lipatannya.
            “Duh Gusti.”, kataku spontan dalam hati.
            Kandar yg melihat ekspresiku lalu mendekat, dan menarik kertas di tanganku. Membacanya kemudian..
            “Nyu, tabah. Bukan rejekimu.”, dia menasehatiku.
            “Yasudah mau bagaimana lagi, kodratnya pegawai rendahan, ya harus siap di-PHK tiba-tiba.”, sambungku sambil tersenyum palsu.
            Tanpa pikir panjang aku rapikan tasku, berpamitan dengan Kandar dan berjalan keluar kantor. Aku berusaha tabah. Aku seperti ditendang keras keluar, pemecatan yg hanya lewat kertas fotokopian, dan mungkin itu kertas yg aku fotokopi tadi pagi. Sedang uang pesangon sepeser pun tidak kuterima, mungkin uang kantor sudah habis dimakan setan kantor.
             Ternyata ada juga beberapa karyawan yg dipecat, aku mellihat itu selama berjalan keluar kantor. Ada yg duduk termenung di kursinya, yg wanita menangis, dan masih banyak reaksi keterpurukan yg menyedihkan. Tanpa berpamitan dengan atasanku aku keluar kantor, meraih sepeda motorku dan berangsur keluar gerbang. Pak Kus yg tersenyum menyapaku sudah tak kuhiraukan.
            Di pikiranku terlintas, “Inikah cara menanggulangi kerugian kantor?.”
            Dalam perjalanan pulang pikiranku semakin carut marut. Salah apa aku? Atasanku yg menelan uang kantor sehingga menyebabkan kerugian besar, tapi aku yg dapat ampasnya.            “Sial tenan.”, pikirku.
            Sesampainya di kos sudah masuk waktu Ashar, Mas Wisnu ternyata juga baru pulang kerja.
            “Masih sore kok kecut tenan wajahmu, Bi.”, sapanya sambil melepas sepatu.
            “Ah, ndak, perasaanmu mas.”,jawabku menutupi.
            Kuparkir sepeda motorku, melepas sepatu, dan masuk kamar tanpa terlalu memperhatikan Mas Wisnu yg pasti tahu bahwa aku sedang tertimpa asamnya hidup.
            Kamarku terasa tak cukup untuk menampung kecewaku. Kali ini aku benar-benar kacau, hilang sudah kendali pikiranku, bingung. Untuk berjalan mondar mandir layaknya orang bingung pun aku tidak mampu. Alhasil, aku hanya diam. Cuma hidung,mata yg berkedip, paru-paru, jantung, dan organ dalamku yg tidak diam. Cukup lama aku di dalam kamar, sampai maghrib kira-kira,entahlah..
            Aku putuskan untuk berdiri, membuka pintu kamar, dan berjalan keluar. Kagetku bukan main ketika Mas Wisnu sudah duduk di kursi depan kamarku. Dua gelas kopi di meja kecil, tepat di depannya. Bak tukang ramal perasaan, dia seakan tau apa yg kurasakan. Orang macam apa ini, pikirku.
            “Sini, cerita!”, dia langsung menyambar.
            Aku memang bukan aktor, tak mampu menyembunyikan apa yg ada dalam pikiranku, atau memang orang ini yg terlalu pintar meraba pikiranku. Aku duduk di dekatnya. Tanpa dipersilahkan kuminum kopi yg disediakannya, entah itu panas atau tidak. Mati rasa sudah panca indra-ku. Dia nyalakan rokoknya dan menawarkan juga untukku. Tak kenal lagi aku kata sungkan, kuterima rokoknya dan kunyalakan. Kami tenggelam, barang lima belas menit dengan rokok kami masing-masing.
            “Aku dipecat, mas.”, kataku spontan.
            “Ya cari kerjaan lain kalau masih mau hidup. Atasanmu korup?”,tanya-nya.
            “Dengar darimana, mas?”, tanyaku balik.
            “Beberapa hari yg lalu kan masuk koran. Jangan lama-lama sedihmu. Sedih itu mbok yg secukupnya saja. Ingat sama Sang Pencipta baru sebanyak-banyaknya,bersyukur koen. Ingat, kalau ndak ada kesusahan, itu berarti surga, bukan hidup. Lha wong ini hidup, sudah sepantasnya ada kesusahan datang.”, wejangan keluar dari mulut bijaksananya.
            Mas Wisnu menepuk pundakku dan pergi masuk ke kamarnya. Aku diam, kembali dalam lamunan panjang........
                                                                                                                                                                                                                                                                                         
  Ini Hidup, Bukan Surga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar