Kumulai
malam, coklat panas, sebungkus rokok, dan komputer di hadapanku. Beberapa bulan
belakangan jika malam datang rutinitasku hanya semacam ini. Berjam-jam aku
habiskan hanya untuk memandang layar dan menghisap rokok. Kadang atap kamarku
seperti akan terbang karena sudah tak sanggup menahan asap rokok yg keluar dari
mulutku.
Ada satu yg membuatku begitu
gandrung dengan komputer belakangan ini, jaringan internet, dan ada satu hal yg
membuatku gandrung pada jaringan internet, media sosial, dan yg membuatku candu
dengan media sosial adalah dia. Apa saja tentang dia, tulisan blog-nya selalu
aku baca, twitter, instagram pun tak luput dari perhatianku, karena itu yg
membuatku bisa melihatnya dengan leluasa. Lebih dari sepertiga malam aku
habiskan untuk itu-itu saja.
“Wisang, belum tidur kamu, nak?” teriak
mamaku dari luar kamar.
“Belum, ma, bentar lagi.” sahutku.
“Besok kuliah?”
“Kuliah.” jawabku singkat, lalu tak
terdengar lagi suara mamaku.
Aku lanjutkan kegiatanku, kali ini
aku hentikan pandang mata dari aktifitas si dia di dunia maya, dan berganti untuk
mengerjakan tugas kuliah, beberapa makalah dan resume. Kuliah sastra memang tak
lepas dari menulis, seperti yg kukerjakan saat ini.
Esoknya aku berangkat kuliah,
mengayuh sepeda balapku di jalanan Jakarta, masih terhitung sepi ketika aku
membesut aspalnya. Udara cukup segar, dan diiringi ramahnya sinar matahari yg
hangat, paduan pas karya Maha Pencipta, menambah nikmat perjalananku menuju
kampus.
Di kampus kuliahku berjalan seperti
biasa. Dosen, materi, teman-teman akrab, kantin kampus, dan ditambah beberapa
tetek bengek perkuliahan lainnya. Sudah mendekati jenuh aku kuliah, dan itu
sebabnya aku berusaha menuntaskan semua mata kuliahku di semester enam ini.
“Kinan.” tiba-tiba keluar dari
mulutku.
“Apa sih?” tanya Suryo, temanku.
“Dasar phyloginik.” ucap temanku yg
lain.
Aku tak menjawab respon mereka, aku
habiskan perhatianku untuk Kinan. Penyita waktu malamku. Gadis perpaduan Jawa-Bali.
Bayangkan saja, raut wajah gadis Jawa yg kalem dipadukan dengan gadis Bali yg
lugu dan eksotis. Manis, kata yg menancap di pikiranku ketika ia lewat di depan
bangku kantin tempat aku duduk. Rambutnya ikal, dengan wajah pribumi yg
menawan. Jika di dunia ini memang tak ada yg sempurna, maka mungkin dia yg
mendekati sempurna jika dilihat secara fisik.
“Itu gadis yg kau idamkan dalam
beberapa bulan ini, Sang?” celetuk si Suryo.
“Siapa bilang?”
“Nge-les
lagi, pengecut, ngaku aja.”, timpal Bahar, temanku.
“Cuma lelaki yg terlalu cinta dengan
dirinya sendiri yg tidak mau menyatakan cintanya pada orang lain.”, kata-kata
bijak keluar dari mulut Suryo.
“Kau benar, Sur, mungkin Wisang
perlu disunat lagi agar keberaniannya muncul, haha.”,singgung Bahar.
“Tau apa kalian soal cinta? Apa
karir kalian dalam percintaan bisa dipertanggungjawabkan?”
“Setidaknya aku dan Bahar tau kalau
cinta tidak untuk dipendam, dan aku berani bertanggung jawab atas perasaanku
sendiri. Nggak seperti kamu, cuma bisa diam dalam waktu yg
lama. Janur kuning belum melengkung, setiap pribadi bebas menyatakan apa yg
dirasa, Sang, ingat itu.”, Suryo meneruskan dengan kata-katanya yg ada
benarnya.
“Sudah lah, aku pulang.”, jawabku
menyudahi.
Terdengar tawa teman-temanku ketika
aku berjalan meninggalkan mereka. Aku pun sebenarnya menahan tawa. Hampir
hilang rasa maluku lantaran sudah terlalu sering ditertawakan. Sudah menjadi
hal wajar jika temanku tahu mengenai bab ini, mereka bersamaku dan sekaligus
saksi mata ketika aku menjadi pelaku kasus memandang anak orang, bernana Kinan.
Perjalananku meninggalkan kantin
begitu pelan, aku sengaja dan sudah jelas sebabnya. Kusebar pandangku, “Ya, itu
dia.”, pikirku. Sekali lagi aku lihat, kali ini yg muncul dalam pikiranku
adalah Drupadi yg terkenal rupawan, istri Yudhistira dalam cerita wayang, hanya
saja Drupadi yg satu ini sedikit ditambah ciri khas gadis Bali. Pikiranku saja
sampai bekerja keras kali ini, tak sanggup aku memadukan dua perpaduan itu,
terlalu agung.
Entah apa maksud Kinan, tiba-tiba dia
membalas pandangku, tersenyum dan pipinya merona. Kinan sadar sedang ada oknum
yg memanfaatkan keindahannya, dan oknum itu aku. Bukannya tersinggung ia malah
tersenyum, justru aku yg menjadi salah tingkah.
“Ya, Tuhan, makan apa gadis ini?” pikirku setelah melihat
ia tersenyum.
Mungkin kata indah, manis, dan
kata-kata serupa kurang mendefinisikan senyumnya.
Melesat pulang, aku bertanya-tanya
pada Tuhan, apa maksudnya memberikan senyum salah satu umat-Nya bernama Kinan
yg memang sudah lama aku dambakan, untuk menghibur hatiku saja, atau isyarat
Tuhan agar aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaan? “Entahlah, Tuhan
memang belum menjawab.”, kataku dalam pikiran. Bersama napas panjangku aku
keluarkan semua prasangka itu, dan kupercepat laju sepedaku.
“Hai, ma.” sapaku ketika sampai di
pelataran rumah.
“Hai, cowok.” jawab mamaku sambil
menggoda.
“Haha, aku bilangin papa lo.”
“Bilang sana, mama nggak takut.”
Kami tenggelam dalam tawa. Aku
hampiri mamaku dan duduk di sampingnya, duduk di kursi kecil teras rumah kami.
Aku menikmati redupnya sore hari sambil melupakan barang sejenak senyuman indah
si Drupadi Bali, sedang mamaku asik dengan hiasan bunga dari manik-manik yg
coba ia rangkai. Tak lama setelah itu adikku menyusul kami berdua di teras
rumah, senda gurau pun semakin menjadi.
Malamnya, selepas makan malam, aku
keluar rumah. Berniat jalan-jalan mencari suasana baru, tapi suasana tadi siang
yg kudapat, ingatanku terlalu kuat untuk mengabaikan kejadian tadi siang.
Senyuman Kinan masih menggelayuti pikiranku, bahkan sekarang sudah menggurita
di setiap saraf yg menempel di tubuh. Tanpa sadar, aku semakin menikmati
ingatan yg satu ini, ingatan yg bercampur mimpi, mimpi yg indah, tapi kacau. “Percuma!”,
kataku pelan. Di sisi lain, nuraniku menggugat, apa yg kuperbuat ini benar? Sepedaku
kuputar balik, dan pulang, berharap mimpi tentang Kinan tertinggal di jalanan.
Aku putuskan menghabiskan sisa malam
ini di kamarku, lagi. Kunyalakan PC, kuputar playlist favoritku, tak ketinggalan kunyalakan rokok pertamaku
malam ini.
Pikiranku kembali, pikiran yg kukira
sudah tertinggal di jalan tadi. Gambaran senyum Kinan sewaktu di kampus
ternyata merupakan kata kunci untuk membuka katalog memori tentangnya ke waktu
yg lampau, mungkin sekitar enam bulan yg lalu, ketika pertama kali aku melihat
dia, Kinan. Waktu itu aku berkesempatan untuk mengenalnya lewat salah satu
obrolan forum mahasiswa di media sosial. Aku sadar, saat itulah rasa kagum
muncul untuk pertama kali hanya karena melihat fotonya, yg ternyata setelah
melalui beberapa pertemuan tak sengaja di kampus, rasa kagum bercampur
rasa-rasa lainnya berdialektika menjadi rasa baru yg aku rasakan sampai
sekarang ini. Ingatan ketika aku dan dia bertegur sapa untuk pertama kalinya
juga tak kalah segar. Satu persatu ingatan tentangnya ter-retorika dengan
sendirinya dalam otakku, jika saja otak dalam kepala ini punya mulut, mungkin
dia akan marah karena si empunya otak hanya menggunakannya untuk memikirkan
gadis manis.
“Keluar dari pikiranku! Sudah cukup
gilaku kali ini.”, ucapku tiba-tiba.
Suaraku membubarkan lamunan
tentangnya. Aku memang sudah geram sekaligus hampir gila. Bagaimana tidak gila,
hatinya sudah dihuni orang, lelaki pilihannya, bahkan di jarinya sudah
melingkar cincin tunangan, aku tahu itu, tapi aku masih menginginkannya.
Seberapa besar dosaku jika aku masuk
terlalu jauh, meski sebenarnya ini sudah kelewat jauh. Ini teguran dariku untuk
diriku sendiri. Sudah lebih dari cukup aku berdiam diri, jika tak berani
menyatakan, berani mengakhiri adalah sikap yg tepat, pikirku. Walaupun kata
Suryo janur kuning belum melengkung, tapi cincin sudah menyatu dengan jari
manis Kinan. Bisa saja setelah lulus atau mungkin sebelum lulus malah, intinya
bisa saja dalam waktu dekat Kinan akan mengucap janji sehidup semati untuk pria
yg tidak saja berhasil melingkarkan cincin itu di jarinya, tapi melingkarkan
cinta di hati Kinan.
“Ah, ini tidak sia-sia. Ini berjalan
atas kehendak Tuhan, ini pemberian Tuhan, tak ada pemberian Tuhan yg sia-sia.”,
kataku untuk menenangkan diriku sendiri.
Tuhan sudah memberiku perasaan ini,
memang bukan untuk dinyatakan tapi untuk mendewasakan. Aku menyudahi lamunanku
tentangnya, semua tentangnya. Sebisa mungkin aku mengenangkan kejadian tadi
siang, aku harus selesaikan pergulatan perasaan ini. Kalau memang mengakhiri
perasaan bukan yg terbaik, setidaknya lebih baik daripada menyimpannya dan
sewaktu-waktu bisa menjadi granat untuk diri sendiri.
“Mungkin lusa saja aku buatkan puisi untuk
Kinan.” ucapku sambil tersenyum.
Kuliahku sastra, wajar saja jika
puisi menjadi penutup ceritaku dengan Kinan. Kalau saja ini ftv, mungkin di
akhir aku akan menikah dengan Kinan, atau minimal sempat menjadi dua sejoli yg
bersama-sama kesana dan kemari. Memang ini tidak menjadi kisah indah, tapi ini
sudah layak disebut cerita. Cerita untuk sebuah nama, Kinan...
Kinan
Nb: Ini hanya cerita fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh,
dan tempat itu bukan merupakan unsur kesengajaan. Tidak
ada pelanggaran HAM dalam proses pembuatan, baik itu
kepada manusia, hewan, bahkan rumput yg bergoyang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar