Jumat, 13 Maret 2015

Kinan



                Kumulai malam, coklat panas, sebungkus rokok, dan komputer di hadapanku. Beberapa bulan belakangan jika malam datang rutinitasku hanya semacam ini. Berjam-jam aku habiskan hanya untuk memandang layar dan menghisap rokok. Kadang atap kamarku seperti akan terbang karena sudah tak sanggup menahan asap rokok yg keluar dari mulutku.
            Ada satu yg membuatku begitu gandrung dengan komputer belakangan ini, jaringan internet, dan ada satu hal yg membuatku gandrung pada jaringan internet, media sosial, dan yg membuatku candu dengan media sosial adalah dia. Apa saja tentang dia, tulisan blog-nya selalu aku baca, twitter, instagram pun tak luput dari perhatianku, karena itu yg membuatku bisa melihatnya dengan leluasa. Lebih dari sepertiga malam aku habiskan untuk itu-itu saja.
            “Wisang, belum tidur kamu, nak?” teriak mamaku dari luar kamar.
            “Belum, ma, bentar lagi.” sahutku.
            “Besok kuliah?”
            “Kuliah.” jawabku singkat, lalu tak terdengar lagi suara mamaku.
            Aku lanjutkan kegiatanku, kali ini aku hentikan pandang mata dari aktifitas si dia di dunia maya, dan berganti untuk mengerjakan tugas kuliah, beberapa makalah dan resume. Kuliah sastra memang tak lepas dari menulis, seperti yg kukerjakan saat ini.
            Esoknya aku berangkat kuliah, mengayuh sepeda balapku di jalanan Jakarta, masih terhitung sepi ketika aku membesut aspalnya. Udara cukup segar, dan diiringi ramahnya sinar matahari yg hangat, paduan pas karya Maha Pencipta, menambah nikmat perjalananku menuju kampus.
            Di kampus kuliahku berjalan seperti biasa. Dosen, materi, teman-teman akrab, kantin kampus, dan ditambah beberapa tetek bengek perkuliahan lainnya. Sudah mendekati jenuh aku kuliah, dan itu sebabnya aku berusaha menuntaskan semua mata kuliahku di semester enam ini.
            “Kinan.” tiba-tiba keluar dari mulutku.
            “Apa sih?” tanya Suryo, temanku.
            “Dasar phyloginik.” ucap temanku yg lain.
            Aku tak menjawab respon mereka, aku habiskan perhatianku untuk Kinan. Penyita waktu malamku. Gadis perpaduan Jawa-Bali. Bayangkan saja, raut wajah gadis Jawa yg kalem dipadukan dengan gadis Bali yg lugu dan eksotis. Manis, kata yg menancap di pikiranku ketika ia lewat di depan bangku kantin tempat aku duduk. Rambutnya ikal, dengan wajah pribumi yg menawan. Jika di dunia ini memang tak ada yg sempurna, maka mungkin dia yg mendekati sempurna jika dilihat secara fisik.
            “Itu gadis yg kau idamkan dalam beberapa bulan ini, Sang?” celetuk si Suryo.      
            “Siapa bilang?”
            Nge-les lagi, pengecut, ngaku aja.”, timpal Bahar, temanku.
            “Cuma lelaki yg terlalu cinta dengan dirinya sendiri yg tidak mau menyatakan cintanya pada orang lain.”, kata-kata bijak keluar dari mulut Suryo.
            “Kau benar, Sur, mungkin Wisang perlu disunat lagi agar keberaniannya muncul, haha.”,singgung Bahar.
            “Tau apa kalian soal cinta? Apa karir kalian dalam percintaan bisa dipertanggungjawabkan?”
            “Setidaknya aku dan Bahar tau kalau cinta tidak untuk dipendam, dan aku berani bertanggung jawab atas perasaanku sendiri. Nggak  seperti kamu, cuma bisa diam dalam waktu yg lama. Janur kuning belum melengkung, setiap pribadi bebas menyatakan apa yg dirasa, Sang, ingat itu.”, Suryo meneruskan dengan kata-katanya yg ada benarnya.
            “Sudah lah, aku pulang.”, jawabku menyudahi.
            Terdengar tawa teman-temanku ketika aku berjalan meninggalkan mereka. Aku pun sebenarnya menahan tawa. Hampir hilang rasa maluku lantaran sudah terlalu sering ditertawakan. Sudah menjadi hal wajar jika temanku tahu mengenai bab ini, mereka bersamaku dan sekaligus saksi mata ketika aku menjadi pelaku kasus memandang anak orang, bernana Kinan.
            Perjalananku meninggalkan kantin begitu pelan, aku sengaja dan sudah jelas sebabnya. Kusebar pandangku, “Ya, itu dia.”, pikirku. Sekali lagi aku lihat, kali ini yg muncul dalam pikiranku adalah Drupadi yg terkenal rupawan, istri Yudhistira dalam cerita wayang, hanya saja Drupadi yg satu ini sedikit ditambah ciri khas gadis Bali. Pikiranku saja sampai bekerja keras kali ini, tak sanggup aku memadukan dua perpaduan itu, terlalu agung.
            Entah apa maksud Kinan, tiba-tiba dia membalas pandangku, tersenyum dan pipinya merona. Kinan sadar sedang ada oknum yg memanfaatkan keindahannya, dan oknum itu aku. Bukannya tersinggung ia malah tersenyum, justru aku yg menjadi salah tingkah.
            “Ya, Tuhan,  makan apa gadis ini?” pikirku setelah melihat ia tersenyum.
            Mungkin kata indah, manis, dan kata-kata serupa kurang mendefinisikan senyumnya.
            Melesat pulang, aku bertanya-tanya pada Tuhan, apa maksudnya memberikan senyum salah satu umat-Nya bernama Kinan yg memang sudah lama aku dambakan, untuk menghibur hatiku saja, atau isyarat Tuhan agar aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaan? “Entahlah, Tuhan memang belum menjawab.”, kataku dalam pikiran. Bersama napas panjangku aku keluarkan semua prasangka itu, dan kupercepat laju sepedaku.
            “Hai, ma.” sapaku ketika sampai di pelataran rumah.
            “Hai, cowok.” jawab mamaku sambil menggoda.
            “Haha, aku bilangin papa lo.”
            “Bilang sana, mama nggak takut.”
            Kami tenggelam dalam tawa. Aku hampiri mamaku dan duduk di sampingnya, duduk di kursi kecil teras rumah kami. Aku menikmati redupnya sore hari sambil melupakan barang sejenak senyuman indah si Drupadi Bali, sedang mamaku asik dengan hiasan bunga dari manik-manik yg coba ia rangkai. Tak lama setelah itu adikku menyusul kami berdua di teras rumah, senda gurau pun semakin menjadi.
            Malamnya, selepas makan malam, aku keluar rumah. Berniat jalan-jalan mencari suasana baru, tapi suasana tadi siang yg kudapat, ingatanku terlalu kuat untuk mengabaikan kejadian tadi siang. Senyuman Kinan masih menggelayuti pikiranku, bahkan sekarang sudah menggurita di setiap saraf yg menempel di tubuh. Tanpa sadar, aku semakin menikmati ingatan yg satu ini, ingatan yg bercampur mimpi, mimpi yg indah, tapi kacau. “Percuma!”, kataku pelan. Di sisi lain, nuraniku menggugat, apa yg kuperbuat ini benar? Sepedaku kuputar balik, dan pulang, berharap mimpi tentang Kinan tertinggal di jalanan.
            Aku putuskan menghabiskan sisa malam ini di kamarku, lagi. Kunyalakan PC, kuputar playlist favoritku, tak ketinggalan kunyalakan rokok pertamaku malam ini.
            Pikiranku kembali, pikiran yg kukira sudah tertinggal di jalan tadi. Gambaran senyum Kinan sewaktu di kampus ternyata merupakan kata kunci untuk membuka katalog memori tentangnya ke waktu yg lampau, mungkin sekitar enam bulan yg lalu, ketika pertama kali aku melihat dia, Kinan. Waktu itu aku berkesempatan untuk mengenalnya lewat salah satu obrolan forum mahasiswa di media sosial. Aku sadar, saat itulah rasa kagum muncul untuk pertama kali hanya karena melihat fotonya, yg ternyata setelah melalui beberapa pertemuan tak sengaja di kampus, rasa kagum bercampur rasa-rasa lainnya berdialektika menjadi rasa baru yg aku rasakan sampai sekarang ini. Ingatan ketika aku dan dia bertegur sapa untuk pertama kalinya juga tak kalah segar. Satu persatu ingatan tentangnya ter-retorika dengan sendirinya dalam otakku, jika saja otak dalam kepala ini punya mulut, mungkin dia akan marah karena si empunya otak hanya menggunakannya untuk memikirkan gadis manis.
            “Keluar dari pikiranku! Sudah cukup gilaku kali ini.”, ucapku tiba-tiba.
            Suaraku membubarkan lamunan tentangnya. Aku memang sudah geram sekaligus hampir gila. Bagaimana tidak gila, hatinya sudah dihuni orang, lelaki pilihannya, bahkan di jarinya sudah melingkar cincin tunangan, aku tahu itu, tapi aku masih menginginkannya.
            Seberapa besar dosaku jika aku masuk terlalu jauh, meski sebenarnya ini sudah kelewat jauh. Ini teguran dariku untuk diriku sendiri. Sudah lebih dari cukup aku berdiam diri, jika tak berani menyatakan, berani mengakhiri adalah sikap yg tepat, pikirku. Walaupun kata Suryo janur kuning belum melengkung, tapi cincin sudah menyatu dengan jari manis Kinan. Bisa saja setelah lulus atau mungkin sebelum lulus malah, intinya bisa saja dalam waktu dekat Kinan akan mengucap janji sehidup semati untuk pria yg tidak saja berhasil melingkarkan cincin itu di jarinya, tapi melingkarkan cinta di hati Kinan.
            “Ah, ini tidak sia-sia. Ini berjalan atas kehendak Tuhan, ini pemberian Tuhan, tak ada pemberian Tuhan yg sia-sia.”, kataku untuk menenangkan diriku sendiri.
            Tuhan sudah memberiku perasaan ini, memang bukan untuk dinyatakan tapi untuk mendewasakan. Aku menyudahi lamunanku tentangnya, semua tentangnya. Sebisa mungkin aku mengenangkan kejadian tadi siang, aku harus selesaikan pergulatan perasaan ini. Kalau memang mengakhiri perasaan bukan yg terbaik, setidaknya lebih baik daripada menyimpannya dan sewaktu-waktu bisa menjadi granat untuk diri sendiri.
             “Mungkin lusa saja aku buatkan puisi untuk Kinan.” ucapku sambil tersenyum.
            Kuliahku sastra, wajar saja jika puisi menjadi penutup ceritaku dengan Kinan. Kalau saja ini ftv, mungkin di akhir aku akan menikah dengan Kinan, atau minimal sempat menjadi dua sejoli yg bersama-sama kesana dan kemari. Memang ini tidak menjadi kisah indah, tapi ini sudah layak disebut cerita. Cerita untuk sebuah nama, Kinan...



Kinan 


Nb: Ini hanya cerita fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, 
       dan tempat itu bukan merupakan unsur kesengajaan. Tidak 
       ada pelanggaran HAM dalam proses pembuatan, baik itu 
       kepada manusia, hewan, bahkan rumput yg bergoyang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar