Di
antara beberapa cecekan rokok, hehe.
Saya mengawali lagi obrolan yang kemarin sempat berakhir. Masih berputar pada
wayang, masih soal Punakawan. Mari dikupas lagi memori tentang Punakawan, kita
diskusikan apa saja yang kita tahu tentang Punakawan. Kemarin, saya sudah coba
bahas dikit-dikit tentang Om Semar, kali ini ganti pada anak-anak angkatnya, Gareng,
Petruk, sama Bagong.
Gareng,
Petruk, Bagong... Jelas jauh dari kata tampan. Bahkan jika dikatakan mereka itu
jelek, itu merupakan sindiran bagi mereka. Perawakannya lebih pantas disebut
unik, tidak seperti umumnya manusia. Ya, memang mereka bukan manusia pada
mulanya. Masing-masing dulunya adalah raja jin. Mereka sakti, mereka mampu
memporak-porandakan kahyangan dengan polahnya yang ugal-ugalan. Kenapa mereka
akhirnya menjadi anak Semar? Karena hanya Semar yang sanggup membuat mereka
bersimpuh tanpa daya. Mungkin hanya dengan kentut Semar yang simpel, mereka
takhluk tanpa syarat. Selanjutnya mereka mengabdikan diri pada kebaikan, manut
dengan petuah Semar dan ikut menjadi pamong bagi Amarta.
Di
sinilah mulanya Gareng, Petruk, Bagong berproses, dari Diyu yaitu keburukan, memasuki Pangruwating,
maksudnya berpsoses menjadi lebih baik, menuju kebenaran yang sebenarnya,
menuju kesejatian hidup, nyawiji atau
menjadi satu dengan dimensi Sang Khalik.
Proses,
dari rupa menuju makna, dari raga menuju rasa, dari dua menjadi nyawiji tentu berbeda pada setiap
individunya. Digambarkan oleh Punakawan, pemikiran antara Gareng, Petruk,
Bagong tentunya berbeda, sikap mereka dalam menghadapi kasus kehidupan tentu
juga lain. Tapi pegangan mereka sama, yaitu menuju kebenaran yang tunggal,
menuju Tuhan, terus mencari Tuhan dan suatu saat Tuhan akan menyambangi mereka.
Pelajaran
ini yang sebenarnya ingin Punakawan sampaikan pada tiap kesempatan, saat mereka
tampil dalam pergelaran wayang, atau pergelaran budaya lainnya. Nilai ini pula
yang terkandung dalam Serat Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, sastra
jawa kuno yang mengajarkan kearifan untuk kehidupan. Bagaimana kita menghargai
proses, mencintai proses, bahwa kita hidup itu adalah juga proses.Tak akan ada
manusia yang ideal, manusia yang paling benar, karena kita adalah individu yang
sama-sama sedang dalam proses.
Perjalanan
manusia dari rupa menuju makna, bisa disebut ngabstrak, tidak jelas bentuknya, tapi dengan berkali-kali turunan
dan persamaan, akan terlihat polanya, akan muncul sebab akibat, makna hidup
akan sedikit demi sedikit terlihat. Tentu membutuhkan waktu, dan memang manusia
ada dalam kuasa proses, hasil tentu bukan kuasa kita.
Berkaca
pada Punakawan, mereka mulanya adalah angkara murka yang akhirnya mengabdi pada
kebaikan. Memang dunia nyata pun bisa seperti itu, keburukan tak selamanya
buruk. Tokoh filsuf biasa berkata, bahwa keburukan itu tidak ada, kalaupun
keburukan itu ada, disebabkan karena tidak adanya kebaikan. Jika kebaikan
dimunculkan, jika kebaikan sudah ditemukan maka akan dengan sendirinya
keburukan itu sirna, mlipir, dan memang begitu kenyataannya.
Laaaa,
sayangnya, kita sekarang hidup pada waktu di mana kita diajarkan untuk mengutuk
keburukan. Ya jelas saja percuma, kita hanya bisa mengutuk barang yang tidak
ada. Mau dikutuk sampai kapan itu keburukan? Ya tetap saja percuma.
Sudah
jelas permasalahan kita sekarang, kenapa banyak orang yang semakin sibuk
mengkafirkan orang lain, jawabannya ada di atas.Hehe.
Angkara
murka memang dihakikatkan untuk timbul di dunia. Kadang angkara murka mampir
pada segelintir atau banyak orang. Manusia berbuat baik pada sang angkara
murka bukan lagi hal yang mungkin dilakukan, tapi harus dilakukan. Bahwa
se-angkara apapun suatu hal, selalu ada waktu dimana dia akan berproses menuju pangastuti atau kebajikan.
Akhirnya,
sari dari huruf-huruf di atas adalah PROSES. Karena kita sedang berproses maka
tetaplah meminta, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”, seperti yang ada dalam
Al-Fatihah. Saran saya untuk mereka yang sudah jago mengkafirkan orang lain,
yang sudah pinter bakar tempat ibadah.., jangan lagi sholat, jangan ke gereja,
jangan ke pura, jangan ibadah, jangan berbuat baik. Sudah hidup saja, wong
hidup sampean udah bener kan? Heheheuu