Jumat, 16 Oktober 2015

The Puno On The Way (Punakawan OTW)



                Di antara beberapa cecekan rokok, hehe. Saya mengawali lagi obrolan yang kemarin sempat berakhir. Masih berputar pada wayang, masih soal Punakawan. Mari dikupas lagi memori tentang Punakawan, kita diskusikan apa saja yang kita tahu tentang Punakawan. Kemarin, saya sudah coba bahas dikit-dikit tentang Om Semar, kali ini ganti pada anak-anak angkatnya, Gareng, Petruk, sama Bagong.
                Gareng, Petruk, Bagong... Jelas jauh dari kata tampan. Bahkan jika dikatakan mereka itu jelek, itu merupakan sindiran bagi mereka. Perawakannya lebih pantas disebut unik, tidak seperti umumnya manusia. Ya, memang mereka bukan manusia pada mulanya. Masing-masing dulunya adalah raja jin. Mereka sakti, mereka mampu memporak-porandakan kahyangan dengan polahnya yang ugal-ugalan. Kenapa mereka akhirnya menjadi anak Semar? Karena hanya Semar yang sanggup membuat mereka bersimpuh tanpa daya. Mungkin hanya dengan kentut Semar yang simpel, mereka takhluk tanpa syarat. Selanjutnya mereka mengabdikan diri pada kebaikan, manut dengan petuah Semar dan ikut menjadi pamong bagi Amarta.
                Di sinilah mulanya Gareng, Petruk, Bagong berproses, dari Diyu yaitu keburukan, memasuki Pangruwating, maksudnya berpsoses menjadi lebih baik, menuju kebenaran yang sebenarnya, menuju kesejatian hidup, nyawiji atau menjadi satu dengan dimensi Sang Khalik.
                Proses, dari rupa menuju makna, dari raga menuju rasa, dari dua menjadi nyawiji tentu berbeda pada setiap individunya. Digambarkan oleh Punakawan, pemikiran antara Gareng, Petruk, Bagong tentunya berbeda, sikap mereka dalam menghadapi kasus kehidupan tentu juga lain. Tapi pegangan mereka sama, yaitu menuju kebenaran yang tunggal, menuju Tuhan, terus mencari Tuhan dan suatu saat Tuhan akan menyambangi mereka.
                Pelajaran ini yang sebenarnya ingin Punakawan sampaikan pada tiap kesempatan, saat mereka tampil dalam pergelaran wayang, atau pergelaran budaya lainnya. Nilai ini pula yang terkandung dalam Serat Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, sastra jawa kuno yang mengajarkan kearifan untuk kehidupan. Bagaimana kita menghargai proses, mencintai proses, bahwa kita hidup itu adalah juga proses.Tak akan ada manusia yang ideal, manusia yang paling benar, karena kita adalah individu yang sama-sama sedang dalam proses.
                Perjalanan manusia dari rupa menuju makna, bisa disebut ngabstrak, tidak jelas bentuknya, tapi dengan berkali-kali turunan dan persamaan, akan terlihat polanya, akan muncul sebab akibat, makna hidup akan sedikit demi sedikit terlihat. Tentu membutuhkan waktu, dan memang manusia ada dalam kuasa proses, hasil tentu bukan kuasa kita.
                Berkaca pada Punakawan, mereka mulanya adalah angkara murka yang akhirnya mengabdi pada kebaikan. Memang dunia nyata pun bisa seperti itu, keburukan tak selamanya buruk. Tokoh filsuf biasa berkata, bahwa keburukan itu tidak ada, kalaupun keburukan itu ada, disebabkan karena tidak adanya kebaikan. Jika kebaikan dimunculkan, jika kebaikan sudah ditemukan maka akan dengan sendirinya keburukan itu sirna, mlipir, dan memang begitu kenyataannya.
                Laaaa, sayangnya, kita sekarang hidup pada waktu di mana kita diajarkan untuk mengutuk keburukan. Ya jelas saja percuma, kita hanya bisa mengutuk barang yang tidak ada. Mau dikutuk sampai kapan itu keburukan? Ya tetap saja percuma.
                Sudah jelas permasalahan kita sekarang, kenapa banyak orang yang semakin sibuk mengkafirkan orang lain, jawabannya ada di atas.Hehe.
                Angkara murka memang dihakikatkan untuk timbul di dunia. Kadang angkara murka mampir pada segelintir atau banyak orang. Manusia berbuat baik pada sang angkara murka bukan lagi hal yang mungkin dilakukan, tapi harus dilakukan. Bahwa se-angkara apapun suatu hal, selalu ada waktu dimana dia akan berproses menuju pangastuti atau kebajikan.
                Akhirnya, sari dari huruf-huruf di atas adalah PROSES. Karena kita sedang berproses maka tetaplah meminta, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus”, seperti yang ada dalam Al-Fatihah. Saran saya untuk mereka yang sudah jago mengkafirkan orang lain, yang sudah pinter bakar tempat ibadah.., jangan lagi sholat, jangan ke gereja, jangan ke pura, jangan ibadah, jangan berbuat baik. Sudah hidup saja, wong hidup sampean udah bener kan? Heheheuu