Selasa, 14 Juni 2016

Bercinta dengan Buku



                                       

 Bercinta tak melulu dengan sesama, teknologi cinta yang bermacam rupa menghasilkan hubungan timbal balik percintaan antar dimensi, kehidupan, dan satuan. Percintaan makhluk dengan Tuhan yang menghubungkan dimensi materi dengan dimensi tak terhingga, menjadikan jarak hampa yang begitu mesra. Di Bali, cinta yang melewati batasan kehidupan, bertumpah ruah, antara manusia dengan alam dan leluhurnya, menghadirkan kesan toleran lintas kehidupan. Lalu pada saya, cinta bekerja sedemikian intens ,berlarian dari diri saya ke buku-buku, menjalin ikatan antar satuan dan membangun ruang pertemuan untuk makhluk bernyawa dengan yang tidak.
 Tak ada urusan di dunia yang tak bisa diselesaikan dengan nuansa cinta. Termasuk urusan manusia dengan buku-bukunya. Saya tak begitu saja jatuh cinta pada buku, tentu ada asal-usulnya. Ada perkenalan, usaha untuk akrab, bahkan kadang timbul rasa bosan. Bukan bosan sebenarnya, hanya ingin mangkir dari rasa ingin tahu yang melelahkan mata, dan memang kadang cinta juga butuh jarak.
Awal perkenalan dengan buku, bisa saja semenjak saya lahir di dunia. Dibukakan buku yang paling luas halamannya;dunia. Terkesan naif, tapi saya menganggap dunia memanglah sebuah buku, dan hari ini adalah salah satu halamannya saja. Entah berapa tebalnya, mungkin tak terbatas. Kemampuan manusia untuk membacanya yang terbatas.
Perkenalan tak sesingkat itu, masuk pada fase menjadi anak sekolahan, ketika rasa ingin tahu semakin besar. Jika saya bisa membaca pada umur 6 tahun, maka pasti semenjak itu saya mulai membolak-balikkan buku. Tentu bacaan anak-anak, seperti Bobo, atau buku bacaan ketika saya masih Taman Kanak-kanak, saya masih ingat namanya;Tiko. Saya tak ingat persis gambar dan cerita apa saja yang ada di dalamnya, pasti tak berbeda jauh dengan majalah anak-anak lain, cerita fabel, cerita tentang desa-desa, dan gambar-gambar dengan warna meriah.
Masa sekolah dasar, saya belum sadar bahwa saya punya ketertarikan dengan buku. Masih kelas 3 SD kala itu, ketika saya mulai penasaran dengan buku apa saja yang terlihat di depan mata, lalu membolak-balikkan halamannya dengan acak, mencari apa yang menarik. Salah satunya adalah majalah ibu saya, majalah untuk pegawai negeri, majalah MEDIA. Saya lupa apa kepanjangan dari judul majalah tersebut, seingat saya MEDIA adalah sebuah akronim.
Rubrik cerpen dan puisi yang selalu saya baca, saya tak paham keseluruhan, saya hanya membaca kala itu, tapi saya merasakan ada sesuatu yang asik dalam kepala saya. Memang absurd sekali, namun urusan saya kala itu hanyalah membaca saja, tanpa aturan dan keharusan untuk memahami isinya. Salah satu cerpen yang saya ingat adalah cerpen yang menceritakan kisah seorang karyawan rendahan yang tiba-tiba diberhentikan secara sepihak oleh atasannya, judulnya PHK, dan pengarangnya seorang pegawai negeri yang sayang saya lupa namanya. Beberapa bulan lalu saya mengarang cerpen dengan tema yang sama, niatnya untuk mengingat si pengarang, sekaligus minta maaf karena tidak mengingat namanya.
Masih sekitar periode sekolah dasar, dan belum terbangun sungguh-sungguh waktu itu, kalau buku memang sesuatu yang menarik. Lagi-lagi saya hanya membolak-balikkan halaman buku, saya hanya menuruti rasa penasaran. Mulai dari buku kisah pewayangan milik bapak, resep memasak di rak dapur, bahkan kamus bahasa inggris bapak jadi pelampiasan, padahal waktu itu masih kelas 3 SD, dan pelajaran Bahasa Inggris baru diajarkan pada kelas 4. Tentu saja saya tak paham, namun belakangan ini saya sadar, dari situ mungkin saya mulai mengenali bahasa asing, dan bukan kesia-siaan jika waktu itu membolak-balikkan kamus. Saya tak berhenti di kamus, yang berikutnya adalah buku primbon karangan Ranggawarsita, bisa ditebak apa yang saya dapatkan ketika membaca buku itu, ya, tidak dapat apa-apa kecuali teguran dari bapak dengan alasan pamali, jika masih kecil membaca buku primbon. Isi keseluruhan menggunakan bahasa Jawa krama inggil-krama yang paling halus-, dan bahasa Kawi, yaitu bahasa Jawa Kuno. Mungkin itu yang dimaksud pamali, karena toh mau dibaca seperti apa, anak kecil tidak akan paham dengan maksud dari buku tersebut.
Ketika SMP dan SMA, saya mulai berjarak dengan buku-buku. Semakin jarang intensitas pertemuan antara kami, hanya sempat membaca novel remaja berjudul Lupus milik kakak saya selain itu mungkin tak ada lagi, sedang ingin agak nakal waktu itu. Bahkan buku pelajaran juga jarang saya sentuh. Barulah ketika memasuki universitas, saya bertemu lagi dengan buku-buku.
Seperti kangen, dan seperti kutu yang teramat senang bertemu dengan buku-buku, setiap hari hanya dengan buku. Kuliah di Fakultas Teknik dan seharusnya membaca buku algoritma, trigonometri, teori metalurgi, buku statika, atau yang lain, saya justru membaca buku fiksi. Tetralogi Pulau Buru, karangan Pramoedya mejadi titik balik cinta antara saya dan buku. Ada sesuatu hal yang membuat saya merinding tiap kali membaca, mungkin setelah sekian lama tak pernah sungguh-sungguh membaca, dan kisahnya yang diramu begitu apik. Juga novel lain, seperti Arus Bawah karya Emha Ainun Nadjib, yang begitu luas dan membawa pada kisah-kisah lampau.
Tak ada yang salah dari hubungan manusia dan buku, jika ada hal buruk yang ditimbulkan kemudian, hanya manusia saja yang berulah. Perlu diingat bahwa setiap apa pun di dunia pasti berbahaya, jika tak dikelola dengan tepat. Bahkan mulai berpikir adalah suatu potensi bahaya.
Buku adalah guru dan kawan untuk berlatih berpikir, membangun pola pikir, dan kritis terhadap setiap pengetahuan baru. Mendorong setiap pembacanya untuk mencari tahu. Bukankah penasaran lalu mencari tahu adalah awal dari sikap kritis ? Berani memverifikasi atas apa pun yang baru, dan penasaran tentang apa itu kebenaran, semua saya latih lewat kebiasaan membaca buku. Ada beberapa hal yang selalu menarik saraf keingintahuan di kepala saya, ketika membaca buku. Salah satunya adalah berbagai kenyataan yang terhampar di tiap halaman buku. Merangsang imajinasi di alam pikiran, tentang situasi ketika buku itu dituliskan dan kemungkinan momen yang terjadi kala itu.
Sebuah buku atau tulisan merupakan puncak peradaban pemikiran dari penulisnya. Silahkan anti terhadap buku, tapi tindakan penghancuran adalah berlebihan. Seperti hubungan saya dengan buku, hubungan pembaca lain dengan bukunya adalah hubungan cinta, rasa ingin kenal lebih jauh dengan jendela kenyataan yang tertulis di dalamnya. Buku hanya alat input, dan manusia yang berkewajiban untuk mengolah input sedemikian rupa agar output-nya berguna bagi sesama.
Saya rasa, menjadi takut lantaran pemikiran yang dituangkan dalam suatu buku dianggap berbahaya, kemudian berusaha mencegah penyebar luasan buku tersebut, itu hanya tindakan sempit dan efeknya juga berjangka pendek, walaupun tindakan tersebut sah di mata hukum. Buku akan selalu dibaca dan terbaca, entah itu dianggap berbahaya atau tidak, tindakan penghancuran buku hanya bisa berhasil jika manusia sudah tidak memerlukan peradaban.