Selasa, 20 September 2016

Riak Suara; Bawah Atap Tejakusuma


Alunan angklung berimbalan. Ada enam angklung bernada pentatonis: pelog. Gong besar berada di samping kiri, sendiri. Empat buah kenong berjajar di depan, memasrahkan pukul pada satu-dua orang niyaga. Kesemuanya begitu patuh dengan aba-aba irama kendang yang berada pada tengah formasi. Kendang yang jika diberdirikan setinggi pinggang orang dewasa, berukuran satu meter kotor, berbahan kayu nangka. Satu lagi, suara yang memekakkan telinga. Instrumen tiup bernama slompret. Bukan main gila tingginya nada dari alat itu.

Hanya delapan orang, yang ada dibalik suara-suara yang kental suasana etnis itu. Dalam beberapa frasa irama, mereka bermain seperti orang tanpa dosa: lupa segalanya kecuali irama. Sama sekali tak ada ikut campur kawan-kawan dari dunia mistis, kalaupun ada yang membakar menyan, boleh lah itu sebagai pembau hidung: harum-haruman.

Tapi, malam itu ketika aku sambangi mereka di Tejakusuma, sama sekali tanpa menyan. Kondisi udara sedang tak membutuhkan pengharum, pikirku. Dan biasanya memang tanpa itu.

Aku duduk dibelakang si angklungers. Datangku bersama seorang kawan. Aku perhatikan betul-betul kala itu, siapa saja yang berlatih Reyog di Pendhapa Tejakusuma. Penari, pengrawit, wiraswara. Keputusanku: komplit!

Pendhapa Tejakusuma ialah salah satu sarana milik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Bangunannya joglo. Berbentuk segi empat dengan tiang kayu ukiran. Lantainya merah. Cukup luas untuk bergerak. Tiap malam, kecuali sudah lingsir, ramailah tempat itu. 

Tersebutlah si Manggala Mudha—yang sedang kuceritakan inisebagai salah satu yang meramaikan. Paguyuban ‘maniak’ Reyog Ponorogo yang numpang makan dan minum di Yogyakarta. Kebanyakan pegiat di dalamnya ialah calon sarjana, calon diploma, dan beberapa orang lagi pekerja. Cukup tahulah aku, karena pernah basah nyemplung di dalamnya. Dua pertiga lebih anggota bukan pribumi Yogya, sisanya boleh dikata asli Yogya.

Kira-kira setengah sembilan, latihan mulai serius. Semua intsrumen dibunyikan pengrawit, semua mulut wiraswara melempar senggak dan kidungan, dan penari, tentu saja menari. Ada sebagian orang yang berdiri, masing-masing di lokal gamelan, wiraswara, dan penari. Aku menyebutnya Korlap(Koordinator Lapangan), agar mewakili ketiga lokal. Beberapa orang itulah yang membimbing atas apa yang mereka imani sebagai wiraga, wirasa, wirama.

Reyog adalah sendratari. Tentu saja membutuhkan banyak penari. Di latihan malam itu, yang aku jadi saksi atasnya, kurang lebih ada tigapuluh penari. Campuran, ada yang perempuan ada yang lelaki.
Malam itu pun sebenarnya bukan latihan sembarang latihan. Konon ceritanya, para ‘maniak’ reyog itu, sedang mempersiapkan sebuah komposisi untuk berfestival. Festival yang dirayakan untuk Peringatan Grebeg Suro, pergantian tahun Saka Jawa, di kabupaten sisi timur Jawa: Ponorogo.

Festival Nasional Reyog Ponorogo, nama untuk festival besar-besaran itu. Melibatkan ribuan orang di dalamnya. Sebagai gambaran, ketika festival itu digelar di alun-alun kabupaten, akses jalan di sekitarnya pasti akan penuh sesak. Orang berbondong menuju panggung utama alun-alun. Tak ada cerita bosan dalam menyaksikan berpuluh tampilan sendratari Reyog Ponorogo. Padahal, sudah bukan hal baru bagi mereka. Hampir seperti wayang, ada saja yang menyaksikan. Mereka yang bersaksi tumpah ruah begitu saja. Ada yang berkalung sarung, menggendong anak, juga muda-muda dengan tipe paling baru.

Maka setengah membaurlah mereka di depan panggung utama, karena tempat duduk masih dibedakan. Menyaksikan puluhan Dadhak Merak memamerkan taringnya secara bergantian. Masuk satu, keluar satunya lagi. Grup reyog dari pelbagai penjuru berpesta pora 'pamer' garapan masing-masing. 

Pengaruh dari kesan festival itulah, yang boleh jadi membikin Tejakusuma begitu hidup malam itu. Ya, di malam latihan yang aku saksikan. Para awak Manggala Mudha berusaha menghidupi kesenian yang satu ini. Mereka pantas disebut salah satu pihak yang memanjangkan usia seni tradisi yang konon lahir di jaman baheula. Jika dahulu sekali, Reyog pernah menjadi sebuah kesenian yang bersifat ritual, maka sejak festival digelarkan, Reyog menjadi sebuah pertunjukan yang makin lumrah dipertontonkan. Kembali pada sifatnya—menurut legenda—bahwa Reyog memanglah seni perrtunjukan. Setidaknya kini, Reyog sanggup menjalani kedua sifat: ritual dan festival.

‘Muda-mudi yang tak segan untuk memulai sesuatu’, setidaknya itu tafsiranku atas arti nama 'Manggala Mudha'. Jika siapa saja, yang ingin terbius dengan hawa etnis Reyog, datanglah ke kota kecil berjuluk Ponorogo ketika festival besar itu digelar: pekan terakhir bulan September. Jadilah saksi atasnya. 

Seperti aku menjadi saksi atas 'Riak Suara Bawah Atap Tejakusuma', malam lalu: 20 September 2016.

Tabik!

Senin, 19 September 2016

Panjang Umur Sekolah Carangan!



I:BOEKOE merupakan akronim dari Indonesia Buku. Jika dilafalkan begitu saja, maka bunyinya menjadi IBUKU. Pesan tersirat dari pendiri yayasan literasi tersebut, bahwa buku ialah ibu. Atau, anggap saja buku sebagai ibu, ya ibumu. Sebaiknya mungkin begitu, karena buku bersifat mengasuh, seperti ibu. Buku bersifat mengajarkan, seperti ibu. Kata ‘Buku’ berakhiran huruf ‘U’, seperti itu pula kata ‘Ibu’.

I:BOEKOE memiliki setidaknya 3 anak pinak; Radio Buku, Perpustakaan Gelaran Buku, dan Warung Arsip. Ketiganya sama-sama menjunjung prinsip kebersamaan, siapa saja punya hak dan kewajiban sama. Haknya merdeka dan kewajibannya memerdekakan. Namun kali ini saya tak akan membahas lebih panjang wujud fisik ketiganya.

Ahad(18Sept16), diadakanlah suatu kelas menulis esai. Semacam lokakarya kepenulisan. Di ruang depan Bale Black Box, Sewon Indah, Bantul. Bale Black Box itu, yang dipercaya banyak orang sebagai markas besar keluarga non-sedarah I:BOEKOE.

Lokakarya dimulai siang, semula rencana pukul 13:00 menjadi 14:00.  Tigabelas orang duduk mengitari meja kotak besar, dua orang lagi di meja sebelahnya karena tak cukup. Duduk di meja terpisah dengan niat yg sama: belajar. Sembilan lelaki dan satu perempuan berkedudukan sebagai murid, dua lagi panitia, dan yang seorang mursyid. Sebenarnya ada beberapa orang lagi, di lantai atas dan ruang belakang, namun mereka tidak sedang fokus dalam kelas esai. Mereka sedang berkegiatan lain.

Ada tiga mursyid dalam kelas ini, Faiz Ahsoul, Fairuzul Mumtaz, dan Muhidin M. Dahlan. Ketiganya adalah beberapa ‘orang tua’ dari para muda-mudi yang tiap hari berkegiatan di rumah kotak itu. Tiga orang tersebut menjadi biang pengetahuan di kelas esai kali ini. Secara bergantian mereka memaparkan esensi kelas ini diadakan. Yang satu, Gus Muhidin, menjadi pemateri tunggal di kelas esai: khususon membahas esai.

Pendek kata, kelas pun berlangsung. Diawali dengan minum kopi, teh, makan kacang rebus, dan beberapa menyulut rokok. Siang itu percakapan dimulai dengan pembukaan dari pihak panitia kecil Kelas Esai, kemudian pengantar dari Mas Faiz Ahsoul. Percakapan berjalan ringan, guyon, sambil sama-sama berbagi pengetahuan. Sampai pada tengahnya, dilontarkan tema dari Kelas Esai ini: menulis esai biografi tokoh keluarga.

Tema yang sangat biasa. Terlampau biasa. Ya, apa yang menarik? Jawabnya, yang menarik adalah ‘yang tak menarik’ tersebut.

Cukup bahagia suasana hati saya, ketika mendengar tema itu. Suatu kesempatan yang khas, untuk menuliskan cuilan cerita dari tokoh keluarga. Kenapa tokoh keluarga? Karena sebenarnya keluarga adalah tokoh, tapi sering tidak ditokohkan. Baik buruk keadaan keluarga tentu menjadi suatu pelajaran yang dashyat, sekurangnya untuk masing-masing pribadi.

Keluarga—jika berpedoman pada nilai Ki Hajar Dewantara—merupakan salah satu pihak yang menyelenggarakan pendidikan. Dari sana sebenarnya seorang bocah mendapatkan pengalaman pertama. Pengalaman pertama, kiranya merupakan pengalaman yang lumayan menentukan dalam proses berkembang. Dia memberi dampak langsung pada siapa saja dalam lingkup keluarga tersebut. Lepaskanlah tuduhan bahwa keluargamu buruk, atau keluargamu baik, ambil saja suatu pelajaran dari sana. Warisi apinya, jangan abunya, kira-kira begitu kata Soekarno.

Ketika sekolah formal berlomba mengajarkan sejarah nasional, yang berarti sejarah besar, maka Kelas Esai ini justru memulai pelajaran sejarah dari keluarga masing-masing peserta: dengan cara menulis biografi tokoh keluarga. Saya tak bilang bahwa satu diantaranya lebih baik dari yang satunya. Tentu dua pelajaran di atas sama pentingnya, dan sama kedudukannya. Satu hal, ketika terlalu sibuk mengurusi sejarah nasional, maka sejarah yang lain pun menguap, tak tersentuh dan membangkai. Hal ini yang saya anggap suatu keuntungan dari diangkatnya tema sejarah keluarga. Dari sejarah yang kecil; diri sendiri, keluarga, kampung, dan seterusnya. Mungkin begitu urutannya.

Saya mendakwa, bahwa sebenarnya I:BOEKOE, dan segala hal di dalamnya, tak hanya berurusan dengan perbukuan. Cukup kuat bukti saya, bahwa ia sebenarnya adalah sebuah pendidikan: sekolah. Sekolah alternatif, sekolah carangan. Mungkin juga bisa disebut--terlepas dari keabsahan badan hukum--universitas, akademi, atau apa saja yang berguna untuk sarana perpindahan pengetahuan. Sebuah sekolah tanpa seragam namun tetap berkurikulum. Kurikulum yang saya maksud adalah sebuah landasan kuat dan berlaku bagi tiap orang memasuki rumah I:BOEKOE. Bahkan, ketika mulai masuk gerbang Bale Black Box, belum menyentuh lantai ruang dalam pun, seseorang yg masuk itu pasti langsung 'mengendus' bau kurikulum itu. 

Tak ada lain tak ada bukan, kurikum yang saya maksud ialah ‘kemerdekaan’. Tiap orang merdeka dalam tiap gerak-gerik, ucapan, bahkan pikiran. Tiap pribadi justru diwajibkan untuk tidak seragam. Ya, bagaimana? Bukannya manusia memang tak seragam. Sepengetahuan saya, setiap pribadi punya akal bukan? Mana ada akal yang seragam isi dan kehendaknya. Dan akal, tak lain harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Tentu yang berhak menggunakan adalah pribadi masing-masing. Jika dipaksa untuk menganut pada satu pedoman tertentu, dan paksaan itu begitu keras, berarti itu teror yang pasti mebahayakan lagi mengerikan. Justru dengan kemerdekaan, orang akan belajar secara otentik untuk mencari batasnya sendiri, begitu kata Cak Nun.

Sekolah carangan inilah, yang menjadi alternatif dari penatnya sekolah formal. I:BOEKOE menjadi salah satu 'dunia lain' dimana sekolah berwujud cair nan egaliter. Memunculkan hubungan murid dan mursyid, sekaligus siswa dan guru. Suatu pendidikan yang tak kalah baik dengan pendidikan bergelar yang lama-lama menjadi sebuah kebutuhan, dan perlu diingat bahwa kebutuhan, hampir erat kaitannya dengan kecanduan. Dua-duanya memungkinkan untuk jadi rujukan pembelajaran.

Candu tak melulu buruk, ada baiknya. Silahkan memeriksa diri kita masing-masing, candu manakah yang sering kita gunakan. Baik kah? Buruk kah? Tentu ada keduanya, termasuk saya sendiri pun begitu.

Banyak hal yang musti saya ‘curi’ dari sekolah carangan. Prinsip ‘maiyah’, meminjam istilah Emha, yaitu prinsip kebersamaan, adalah salah satunya. Menyusun ingatan kembali, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Yang selalu butuh kolektif, butuh kawan. Juga prinsip keseragaman, merupakan salah duanya. Jangan cepat mati, doa saya untuk seluruh sekolah alternatif yang ada di semesta. Panjang umur sekolah carangan!

Tabik.

Sabtu, 17 September 2016

Wayang: Politik, Waktu, dan Ruang



Abad kedelapan, wayang mulai tumbuh dan keliling dari kampung ke kampung di Nusantara. Menjadi hiburan rakyat. Dengan dalang sebagai juru dongeng. Sinden pembangun hangat suasana, dan gamelan sebagai pengiring sekaligus pelembut. Rakyat jelata menjadi penikmat setianya semalam suntuk. Keterbukaan wayang serta lelucon satir dari dalang yang bebas klayapan kesana kemari, menjadi penenang saraf tegang dari penonton yang sehari penuh bekerja. Semuanya mengerubungi pentas: anak kecil, dan perempuan, lelaki berapapun usianya.

Kelengkapan unsur seni di dalamnya: musik, drama, tari, rupa, menjadikan wayang sebagai seni pertunjukan yang memikat. Peluang bagus sebagai alat untuk menghegemoni rakyat. Sebagai corong membudakkan manusia khususnya jelata. Kenyataan itu yg setidaknya pernah terjadi dalam sejarah pewayangan nusantara. Ya, wayang juga pernah terpuruk sekitar abad 16, terjerembab lalu dipungut sebagai lengan kuasa dari tangan-tangan kolonial dan feodal.

Wayang menjadi alat hipnotis, pakem-pakem menjadi amat kaku. Gerakan carangan pada wayang—dalam hal ini Semar, Gareng, Petruk, Bagong sebagai Ponokawan—kehilangan guyon satirnya. Dalang yang semula tukang lempar kritik diubah menjadi juru bicara feodal-kolonial. Aroma mistis yang berlebihan ditebarkan pada sekujur tubuh pewayangan. Bahwa dewa menjadi penguasa mutlak, dan pamali jika disanggah. Dewa menjadi kehilangan arti. Dewa yang sejatinya merupakan simbol dari puncak ilmu pengetahuan, bergeser menjadi diktator. Kisah Mahabarata Tradisional menjadi begitu seram dan dangkal, penuh legitimasi atas pemerasan. Ponokawan yang tugasnya memberi penerangan, sekaligus simbol kebebasan rakyat, dikerdilkan jadi lelucon tanpa mutu.

Begitu pergulatan wayang dalam rumah koloni berperabot feodal. Masyarakat jelata yang semula menikmati pertunjukan wayang dengan wajah sumringah, berubah menjadi wajah polos seperti kena gendam. Lantaran hawa mistis berlebih yang disisipkan penguasa pada tiap pakem wayang. Dan usaha ini bukannya tak berhasil, sebagian rakyat yang terhegemoni akhirnya terseret jua pada simpul kisah pewayangan yang mewakili mulut feodal kala itu. Pertunjukan wayang yang egaliter dan sarat nilai kerakyatan pada mulanya, berubah jadi penuh tipu muslihat. Peminatnya merosot bahkan nyaris sepi. Gugur demi satu lantaran bosan dan kurang gayeng.

Namun, sebagai kesenian yang telah mengakar di Nusantara, ternyata akarnya cukup kuat untuk tetap berdiri. Setelah digempur dan ditunggangi koloni, pada akhirnya wayang diakui UNESCO sebagai seni asli Indonesia. Biarpun kisahnya lahir di India, tapi wayang yang berkembang di India berbeda jauh dengan di Indonesia. Beberapa tokoh adalah hasil kreativitas para Juru Barata—sebutan untuk dalang sekaligus pengarang cerita wayang-- di Nusantara.

Perjalanan wayang sebagai seni rakyat yang bertahan sampai sekarang merupakan suatu proses pendewasaan bagi wayang itu sendiri. Jika pada masa kolonial ia digunakan sebagai alat tipu-tipu, setidaknya zaman Soekarno wayang mulai diangkat. Lekra adalah salah satu lembaga kebudayaan yang sadar akan kesenian lintas zaman ini. Riwayat wayang sebagai seni rakyat menjadikan Lekra merasa perlu untuk memikirkan nasibnya. Lagipula, wayang adalah anak kandung kebudayaan rakyat.

Luka lama wayang—alat legitimasi paham pemerasan-- sedikit-sedikit mulai dibersihkan dan disembuhkan. Lekra menjadi wadah para dalang berkumpul dan bertukar pikiran, di Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, dan sebagian Jawa Timur. Para dalang yang tergabung dalam paguyuban masing-masing tak segan menghadiri rembug budaya yang digelar Lekra. Bahkan, banyak juga Ki Dalang yang secara sah nyemplung sebagai anggota Lekra.

Pakem pembaharuan mulai digarap. Pembaharuan dari segi isi cerita dan dari segi bentuk. Pakem cerita yang memuat penghisapan dan perendahan derajat rakyat dibabat, cerita carangan mulai dikembangkan. Ponokawan menjajaki perannya kembali setelah sekian lama tidur dalam lelucon tak berisi. Lakon yang menceritakan liciknya Kresna sebagai titisan dewa, mulai diangkat, seperti dalam cerita gugurnya Bambang Ekalaya. Bima kembali mendapat keberaniannya dalam bicara, tersirat dalam lakon Bima Suci, yaitu argumen Bima tentang konsep keagamaan yang membuat Batara Guru tersipu malu. Pun Batara Guru sebagai Presiden para Dewa, mulai diperlihatkan boroknya. Semua tokoh wayang ditancapkan sebagai anak buah dalang. Rakyat mendapat intisari wayang sebagai hiburan rakyat yang sesungguhnya: wayang yang egaliter. Lekra dan khususnya beberapa dalang yang terhimpun dalamnya, cukup berperan dalam pengembalian wayang ke fitrahnya.

Dalam pandangan Lekra, mengutip dari buku Lekra Tak Membakar Buku karya Muhidin M Dahlan, wayang diposisikan sebagai alat perjuangan dan propaganda Manipol kala itu. Oleh sebab, muatannya harus penuh nilai kerakyatan, revolusioner, dan bergaris politik Manipol. Wayang harus berani untuk diperbaharui. Merupakan proses perdebatan ketika wayang hendak memasuki fase pembaharuan. Beberapa dalang yang konsisten dengan prinsip ‘Mahabarata untuk Mahabarata’, mentah menolaknya. Namun, dukungan penuh keluar dari diri para dalang ‘progresif’ yang segaris dengan pemikiran Lekra.

Beberapa dalang ini seperti Ki Dalang Muljadi Muljosabdo. Ia menggubah lakon Kalimantara yang menceritakan perjuangan ganyang Malaysia. Kisah yang sama sekali baru dalam pewayangan. Namun wayang yang digunakan adalah tokoh-tokoh yang sudah ada: Kumbakarna, Prakasta, Mamang Murka, dll. Penggunaan tokoh yang sudah ada ini dimaksudkan agar wayang tak kehilangan unsur seni yang sudah sekian lama mengakar di masyarakat. Juga agar masyarakat tak kaget dengan pembaharuan yang terjadi. Pembaharuan pewayangan dilakukan bertahap.

Juga pertunjukan wayang dalam Konferensi Daerah ke IV Lekra Jateng pada Januari 1965. Dimana ada tiga dalang yang bermain secara kolektif, sesuai prinsip kerakyatan yang harus menjunjung prinsip kolektivitas. Wayang sedikit demi sedikit kembali menemukan ritme kerakyatannya.

Pembaharuan pada wayang yang didukung penuh oleh Lekra ini tentu masih menuai protes. Dalam beberapa kesempatan, PKI melalui perwakilannya masih menyebutnya pembaharuan yang belum prinsipil. Belum utuh dan masih nanggung. Selain itu protes juga masih membahana dari beberapa dalang klasik yang berpegang teguh pada prinsip ‘Mahabarata untuk Mahabarata’ atau ‘Ramayana untuk Ramayana’.

Itulah kesenian. Ia adalah buah kreativitas seniman. Menjadi anak kebudayaan rakyat dan bersentuhan langsung dengan realitas rakyat. Dalam perkembangannya kesenian menunjukkan nilai luwesnya ketika berbenturan dengan pelbagai kondisi, selain pendewasaan untuk kesenian itu sendiri. Biarlah wayang dengan masa lalunya yang penuh luka. Biarlah wayang bersama aroma mistis yang mendayu. Ia tetap seni pertunjukan yang sederhana. Mampu menjadi wahana sindiran atas ketimpangan sosial, juga pada penguasa. Dan pada masa kini, biarlah wayang berkembang: jika hanya bertahan dengan pakemnya berarti mati, jika tumbuh dengan bentuk baru berarti hidup.

Selasa, 14 Juni 2016

Bercinta dengan Buku



                                       

 Bercinta tak melulu dengan sesama, teknologi cinta yang bermacam rupa menghasilkan hubungan timbal balik percintaan antar dimensi, kehidupan, dan satuan. Percintaan makhluk dengan Tuhan yang menghubungkan dimensi materi dengan dimensi tak terhingga, menjadikan jarak hampa yang begitu mesra. Di Bali, cinta yang melewati batasan kehidupan, bertumpah ruah, antara manusia dengan alam dan leluhurnya, menghadirkan kesan toleran lintas kehidupan. Lalu pada saya, cinta bekerja sedemikian intens ,berlarian dari diri saya ke buku-buku, menjalin ikatan antar satuan dan membangun ruang pertemuan untuk makhluk bernyawa dengan yang tidak.
 Tak ada urusan di dunia yang tak bisa diselesaikan dengan nuansa cinta. Termasuk urusan manusia dengan buku-bukunya. Saya tak begitu saja jatuh cinta pada buku, tentu ada asal-usulnya. Ada perkenalan, usaha untuk akrab, bahkan kadang timbul rasa bosan. Bukan bosan sebenarnya, hanya ingin mangkir dari rasa ingin tahu yang melelahkan mata, dan memang kadang cinta juga butuh jarak.
Awal perkenalan dengan buku, bisa saja semenjak saya lahir di dunia. Dibukakan buku yang paling luas halamannya;dunia. Terkesan naif, tapi saya menganggap dunia memanglah sebuah buku, dan hari ini adalah salah satu halamannya saja. Entah berapa tebalnya, mungkin tak terbatas. Kemampuan manusia untuk membacanya yang terbatas.
Perkenalan tak sesingkat itu, masuk pada fase menjadi anak sekolahan, ketika rasa ingin tahu semakin besar. Jika saya bisa membaca pada umur 6 tahun, maka pasti semenjak itu saya mulai membolak-balikkan buku. Tentu bacaan anak-anak, seperti Bobo, atau buku bacaan ketika saya masih Taman Kanak-kanak, saya masih ingat namanya;Tiko. Saya tak ingat persis gambar dan cerita apa saja yang ada di dalamnya, pasti tak berbeda jauh dengan majalah anak-anak lain, cerita fabel, cerita tentang desa-desa, dan gambar-gambar dengan warna meriah.
Masa sekolah dasar, saya belum sadar bahwa saya punya ketertarikan dengan buku. Masih kelas 3 SD kala itu, ketika saya mulai penasaran dengan buku apa saja yang terlihat di depan mata, lalu membolak-balikkan halamannya dengan acak, mencari apa yang menarik. Salah satunya adalah majalah ibu saya, majalah untuk pegawai negeri, majalah MEDIA. Saya lupa apa kepanjangan dari judul majalah tersebut, seingat saya MEDIA adalah sebuah akronim.
Rubrik cerpen dan puisi yang selalu saya baca, saya tak paham keseluruhan, saya hanya membaca kala itu, tapi saya merasakan ada sesuatu yang asik dalam kepala saya. Memang absurd sekali, namun urusan saya kala itu hanyalah membaca saja, tanpa aturan dan keharusan untuk memahami isinya. Salah satu cerpen yang saya ingat adalah cerpen yang menceritakan kisah seorang karyawan rendahan yang tiba-tiba diberhentikan secara sepihak oleh atasannya, judulnya PHK, dan pengarangnya seorang pegawai negeri yang sayang saya lupa namanya. Beberapa bulan lalu saya mengarang cerpen dengan tema yang sama, niatnya untuk mengingat si pengarang, sekaligus minta maaf karena tidak mengingat namanya.
Masih sekitar periode sekolah dasar, dan belum terbangun sungguh-sungguh waktu itu, kalau buku memang sesuatu yang menarik. Lagi-lagi saya hanya membolak-balikkan halaman buku, saya hanya menuruti rasa penasaran. Mulai dari buku kisah pewayangan milik bapak, resep memasak di rak dapur, bahkan kamus bahasa inggris bapak jadi pelampiasan, padahal waktu itu masih kelas 3 SD, dan pelajaran Bahasa Inggris baru diajarkan pada kelas 4. Tentu saja saya tak paham, namun belakangan ini saya sadar, dari situ mungkin saya mulai mengenali bahasa asing, dan bukan kesia-siaan jika waktu itu membolak-balikkan kamus. Saya tak berhenti di kamus, yang berikutnya adalah buku primbon karangan Ranggawarsita, bisa ditebak apa yang saya dapatkan ketika membaca buku itu, ya, tidak dapat apa-apa kecuali teguran dari bapak dengan alasan pamali, jika masih kecil membaca buku primbon. Isi keseluruhan menggunakan bahasa Jawa krama inggil-krama yang paling halus-, dan bahasa Kawi, yaitu bahasa Jawa Kuno. Mungkin itu yang dimaksud pamali, karena toh mau dibaca seperti apa, anak kecil tidak akan paham dengan maksud dari buku tersebut.
Ketika SMP dan SMA, saya mulai berjarak dengan buku-buku. Semakin jarang intensitas pertemuan antara kami, hanya sempat membaca novel remaja berjudul Lupus milik kakak saya selain itu mungkin tak ada lagi, sedang ingin agak nakal waktu itu. Bahkan buku pelajaran juga jarang saya sentuh. Barulah ketika memasuki universitas, saya bertemu lagi dengan buku-buku.
Seperti kangen, dan seperti kutu yang teramat senang bertemu dengan buku-buku, setiap hari hanya dengan buku. Kuliah di Fakultas Teknik dan seharusnya membaca buku algoritma, trigonometri, teori metalurgi, buku statika, atau yang lain, saya justru membaca buku fiksi. Tetralogi Pulau Buru, karangan Pramoedya mejadi titik balik cinta antara saya dan buku. Ada sesuatu hal yang membuat saya merinding tiap kali membaca, mungkin setelah sekian lama tak pernah sungguh-sungguh membaca, dan kisahnya yang diramu begitu apik. Juga novel lain, seperti Arus Bawah karya Emha Ainun Nadjib, yang begitu luas dan membawa pada kisah-kisah lampau.
Tak ada yang salah dari hubungan manusia dan buku, jika ada hal buruk yang ditimbulkan kemudian, hanya manusia saja yang berulah. Perlu diingat bahwa setiap apa pun di dunia pasti berbahaya, jika tak dikelola dengan tepat. Bahkan mulai berpikir adalah suatu potensi bahaya.
Buku adalah guru dan kawan untuk berlatih berpikir, membangun pola pikir, dan kritis terhadap setiap pengetahuan baru. Mendorong setiap pembacanya untuk mencari tahu. Bukankah penasaran lalu mencari tahu adalah awal dari sikap kritis ? Berani memverifikasi atas apa pun yang baru, dan penasaran tentang apa itu kebenaran, semua saya latih lewat kebiasaan membaca buku. Ada beberapa hal yang selalu menarik saraf keingintahuan di kepala saya, ketika membaca buku. Salah satunya adalah berbagai kenyataan yang terhampar di tiap halaman buku. Merangsang imajinasi di alam pikiran, tentang situasi ketika buku itu dituliskan dan kemungkinan momen yang terjadi kala itu.
Sebuah buku atau tulisan merupakan puncak peradaban pemikiran dari penulisnya. Silahkan anti terhadap buku, tapi tindakan penghancuran adalah berlebihan. Seperti hubungan saya dengan buku, hubungan pembaca lain dengan bukunya adalah hubungan cinta, rasa ingin kenal lebih jauh dengan jendela kenyataan yang tertulis di dalamnya. Buku hanya alat input, dan manusia yang berkewajiban untuk mengolah input sedemikian rupa agar output-nya berguna bagi sesama.
Saya rasa, menjadi takut lantaran pemikiran yang dituangkan dalam suatu buku dianggap berbahaya, kemudian berusaha mencegah penyebar luasan buku tersebut, itu hanya tindakan sempit dan efeknya juga berjangka pendek, walaupun tindakan tersebut sah di mata hukum. Buku akan selalu dibaca dan terbaca, entah itu dianggap berbahaya atau tidak, tindakan penghancuran buku hanya bisa berhasil jika manusia sudah tidak memerlukan peradaban.

Jumat, 22 April 2016

Safari ke Belantara Hukum



TN. Baluran (zhafiratrans.co.id)
            Safari identik dengan perjalanan yang menyenangkan, dengan mobil kap terbuka dan melihat kiri kanan penuh dengan ekosistem yang masih terjaga. Ke belantara? Belantara lebih cocok digunakan untuk hutan yang benar-benar liar dan rimbun. Tapi, kenapa kali ini belantara digunakan sebagai pasangan hukum. Belantara Hukum. Apa karena hukum sudah jadi liar dan rimbun, dengan politisasi yang tambal sulam. Atau memang lebih luas lagi, kehidupan memanglah sebuah belantara yang liar dan penuh mitos. Jawab di hati masing-masing.
            Menengok praktek hukum sekarang, dari sudut pandang awam, pasti terlihat lebih banyak praktek hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah. Seperti itukah memang hukum? Atau ekspektasi awam saja yang berlebihan tentang hukum, yang menganggap hukum adalah barang suci, yang bisa ditelaah mentah bersama kulitnya. Apa memang hukum adalah jalan yang sudah pasti kebenarannya?
            “Jalan apapun yang kau tempuh, lurus ataupun berkelok-kelok. Ingatlah bahwa selalu ada kubangan di setiap jalan itu.” – Amongraga. Serat Centhini
            Mari kita kembali pada idiom Jawa Kuno, dari Amongraga, bahwa pada kenyataannya, setiap apapun pasti punya kubangannya sendiri-sendiri. Kesucian hanya milik orang-orang yang memperoleh ilham dari langit, dan langit itu sendiri. Jadi, masih menganggap bahwa hukum itu bersih dan menjamin setiap keadilan ? Tentu bisa saja iya, jika hukum yang dimaksud berpihak pada keadilan. Jika tidak ? Maka jangan gunakan lagi adagium ‘setiap orang sama di mata hukum’.
            Dalam ilmu hukum tentu terdapat banyak asas-asas. Asas utilitas, yang memungkinkan seseorang tidak terkena penegakan hukum jika melakukan penyimpangan, karena jika sampai seseorang tersebut tersangkut kasus, akan berdampak pada runtuhnya negara. Asas praduga tak bersalah, yang memosisikan hakim sebagai satu-satunya pengambil keputusan atas penetapan tersangka, walaupun bukti sudah menunjukkan indikasi. Lalu berbagai asas lainnya yang tertulis dalam buku-buku pengantar ilmu hukum.
            Seperti yang sudah saya tulis di atas, hukum pidana dan perdata pada umumnya berbeda dengan hukum gravitasi, hukum Newton, hukum-hukum temuan Cengel tentang Termodinamika. Ilmu hukum pidana dan perdata bukanlah ilmu eksak, dia bisa saja berubah dan tidak bersifat klinis. Memiliki tingkat relatifitas yang jauh lebih tinggi, tergantung siapa yang menggunakan dan pada siapa si hukum berpihak. Maka jangan heran melihat potret hukum di negara yang berlaku seperti anak perusahaan, jika praktek hukum terlihat tumpul ke atas tajam ke bawah. Dan jangan heran jika para pekerja hukum tetap kekeuh berkampanye ‘semua orang sama di mata hukum’, itu hanya cara berpolitik dalam hukum. Karena hukum memang dijalankan dengan politik hukum, yang keliru adalah jika terjadi politisasi hukum.
            Kita tentu punya persepsi lain-lain tentang hukum. Tapi yang lebih penting, berhentilah menganggap bahwa hukum itu suci. Jangan terlalu percaya dengan mantra-mantra hukum yang tertulis di buku pengantar ilmu hukum. Karena kenyataan akan selalu berbeda dengan tulisan. Hukum akan adil jika memang berpihak pada keadilan, hukum akan benar-benar ditegakkan, jika benar sudah ditegakkan. Tak ada lagi kebenaran dari sudut pandang lain-lain, kecuali dari kebenaran. Dan rakyat, adalah komisaris jendral di negaranya. Tampuk kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara, berhentilah mengigau tentang kesucian hukum, karena hukum yang sekarang berjalan belum tentu berpihak padamu. Biarkan negara ini runtuh jika langit menghendakinya, kau sudah tahu bahwa hukum dan dunia adalah belantara. Manusia hanya pencari kebenaran di tengah belantara, yang ada padanya barulah kebenaran yang masih bisa dipertanyakan. Ingat, di atas hukum masih ada etika..
            “Salus populi suprema lex : keselamatan rakyat adalah hukum yang paling tinggi, lebih tinggi dari konstitusi.”

“Sekalian masih tersihir hawa panas materi
Lengah dengan diri sendiri, lali dengan duka dan cita kehidupan
Diam, dan tak melawan!
Maka nanti saat kau bangun
Terjunlah, pada pergulatan dengan dirimu sendiri
dan medan pertempuran dengan penguasa haus kuasa
Biarkan sayup suara ini didayung angin peradaban
terbaca oleh mereka yang sadar
bahwa serakah bukanlah mental.”
( di Belantara, 19/04/’16 )

Selasa, 12 April 2016

LAWAN !!



Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata : Lawan !
(Penggalan puisi "Peringatan" Wiji Tukul)

   Siapa melawan siapa? Siapa melawan apa ? Melawan penguasa ? Siapa penguasanya ? Apakah cuma satu lapis penguasanya ? Pertanyaan kemudian menjadi rancu, begitu banyak peran pendukung yang telah sukses merancukan pertanyaan di atas. Manusia-manusia dewa juga yang ambil peran di dalamnya, mereka bersekongkol dengan tingkatan di atasnya, seperti konspirasi Sri Kresna dengan Bathara Guru, yang saling menyembunyikan rahasia kehidupan, yang sesungguhnya sederhana.
   Pada zaman Pak Wiji, terlihat jelas birokrasi mana yang harus diseimbangkan, agar tak berlarut dalam ketimpangan. Atau, kalau mau kembali ke masa lalu, tahun 1906-1917, ketika organisasi pribumi masih dengan usahanya, mereka pun mempunyai rumus yang jelas bahwa musuhnya setidak-tidaknya ada dua : adalah Eropa dengan mental kolonialismenya dan pribumi yang mengakui bahwa kolonialisme adalah suatu sistem yang diridhoi Tuhan. Pada masa-masa itu, politik sudah bisa dikatakan kompleks. Hanya saja, masih jelas bahwa musuhnya adalah kolonial.
   Masa kini, sudah bukan kompleks, tapi rancu. Tentu masih terpola, tapi dengan aritmetika yang lebih bertingkat. Sayangnya, karena semakin banyak tingkatan yang harus disusun untuk menemukan pola, orang dibikin malas untuk mengenali pola seperti apa yang ada didepannya. Ditambah alergi dengan politik, karena politik sudah terkesan seperti kata yang penuh tipu daya. Padahal, kehidupan mana yang tak berpautan dengan politik, ketika orang mengakui bahwa si A adalah penguasa dari kaumnya, itu adalah politik. Jika disederhanakan, ketika saraf di tubuh tunduk dan mengakui kepemimpinan otak, itu merupakan politik. Yang membedakan sekarang adalah, politik sehat dan politik sakit. Dan politik sakit adalah yang paling banyak, sehingga politik sehat digeneralisasi jadi politik sakit juga.
   Sistem pun dibikin jadi demikian rumit, dalam hal apa saja. Mulanya untuk memudahkan pengelompokan, namun akhirnya jadi patokan dan salah kaprah. Yang kini, melahirkan beberapa pihak yang tak ingin terlibat suatu sistem, ataupun organisasi. Orang jadi malas untuk sekedar berorganisasi, alasannya sistem. Sistem memang akan menghasilkan sistem yang lain, karena tubuh manusia pun juga kumpulan sistem dan organ, yang bekerja satu dan satunya, membuahkan sistem lain bernama metabolisme, lalu organ satu dan satunya juga membentuk kumpulan organ yang disebut organisasi badan secara utuh, untuk kemudian diberi nama si A, si B, dll. Lagi-lagi, kehidupan mana yang tak terlibat dalam suatu sistem dan organisasi, ketika ada perbincangan antara dua orang, itu saja sudah termasuk berorganisasi. Pada akhirnya, setiap pribadi berhak untuk memilih bentuk organisasi yang dikehendakinya. Selama itu membawa kebaikan untuk sesamanya. Sungguh, telah bertumpuk-tumpuk kekhawatiran yang salah tempat, hanya karena ilusi pengetahuan yang disebarkan oleh beberapa manusia, yang menganggap dirinya dewa, adikuasa, dan ahli mencuri fakta.
   Jangan lelah untuk melawan, tanyakan pada fatwa hati masing-masing, siapa yang harus dilawan. Jangan bermanja-manja dengan romansa kotak yang mereka ciptakan. Lawan pertamamu adalah dirimu sendiri, lalu akan engkau temukan lawan berikutnya. 



Orang Bodoh dan Anaknya

Hei ! Anakku
Cepat besar kau
Aku orang tuamu
Merawatmu dengan susu terbaik
Dengan penitipan anak kelas parlente
Rumah untukmu tidur setiap malam
Sudah ku hias dengan gelimang dunia

Hei ! Anakku
Nanti , jika kau besar nanti
Berpendidikanlah kau
Jangan bosan menghafal teori mencari uang
Amankan namamu dengan gelar-gelar
Kalau perlu gelar yg berbau agama
Cukuplah kau dengan baunya saja

Hei ! Anakku
Nanti, jika kau besar nanti
Beribadahlah dengan rajin
Tapi jangan lupa pekerjaanmu
Oh , bukan bukan
Bukan, terbalik rupanya
Kerja rajin, tapi jangan lupa ibadahmu

Hei ! Anakku
Nanti, jika kau besar nanti
Sukseslah kau dalam studi dan spekulasi
Tak usah bergabung dengan perjuangan kelas teri
Sibukkan dirimu dengan gawai dan layar imaji
Jika eksistensimu diakui
Jodoh dan rejeki jelas mengikuti

Hei ! Anakku
Nanti, jika kau besar nanti
Urusanmu hanya bagaimana perutmu bisa terisi
Juga kantong syahwatmu bisa terpenuhi
Tidak dengan yang lain
Hiduplah kau, Anakku
Jaya selalu
Semoga, kau tak segera bertemu mati
(27/03/16)

Jumat, 25 Desember 2015

Arus Baru

    

   Sebentar lagi tahun baru. Sudah terbayang ramenya, atau mungkin macetnya. Terbayang juga tahun baru jalan kemana, sama siapa, yolandaa....hehehu. Atau malah susah, belum punya bayangan? Tenang, tahun baru ya tahun baru kok, ya wis kayak tahun  baru yg lalu-lalu.
     Membahas yg berbau tentang baru, termasuk baju baru, tahun baru, gadget baru, dan sebagainya, sebenarnya harus nggak sih itu? Primer atau sekunder? Atau malah tersier? Ya tergantung, tiap individu pasti punya pendapat, rasanya kok kurang bermanfaat kalau jadi bahan debat.
     Tapi, bagaimana kalau istilah 'baru' sudah menjadi kecenderungan, gaya hidup, misal menjadi salah satu faktor penunjang percaya diri, atau metode untuk gengsi-gengsian? Ini yg mengganjal, masak iya mau nurutin yg baru terus? Layo tidak ada habisnya to yo. Paling nanti kalau produsen sudah kehabisan stok ide baru, kembali lagi ke model lama, cuma dipoles dikit -misal pakaian- atau promosi diskon besar-besaran.
     Saya tak cerita dulu ini, katanya PR terbesar manusia adalah menemukan dirinya sendiri. Gimana ini? Gimana cara menemukan diri sendiri yg bener-bener otentik? Sedangkan diri kita ini selalu mlayu rono-rene keseret barang anyar (read: lari sana-sini terbawa barang baru). Masak harus menolak, kampanye besar-besaran, pakai #tolakbarangbaru, ya ndak mungkin.. Kelihatannya malah jadi garis keras, ngeri. Selain itu, sudah kodrat kalau manusia suka berinovasi, yg baru tadi, tambah sulit ini...
     Kalimatnya gini, kita suka dengan yg baru-baru, tapi kalau terbuai kebaruan kita akan kewalahan karena tidak ada habisnya dan tidak akan ketemu dengan kita yg asli, padahal PR terbesar kita adalah sadar siapa kita. Gitu ? Kira-kira gitu. 
     Jangan salahkan kebaruan, itu kan memang sudah pasti, jelas harus ada. Yg harus dilakukan adalah menampung kebaruan. Jadilah lautan, yg menampung semua bentuk kebaruan. Tapi jangan pernah membiarkan kebaruan menjadi diri kita, biarkan dia menjadi bagian dari kita... Naa, kata kuncinya 'bagian dari diri kita'. Tidak perlu menutup diri, selalu sadar saja bahwa itu hanya bagian. 
     Selama kita sadar itu bagian dari diri kita, aman sudah. Kita akan kuat sebagai individu, kelompok, bahkan bangsa. Kita akan tahu apa yg dibutuhkan. Akan punya sikap, akan ketemu siapa diri kita sebenarnya, tapi tidak buta akan inovasi. Yg lama kan belum tentu jelek. 
     Selamat menyongsong tahun baru dan kebaruan lainnya, tetap pede, dan jangan minder jadi kita.. iya kita....