Senin, 19 September 2016

Panjang Umur Sekolah Carangan!



I:BOEKOE merupakan akronim dari Indonesia Buku. Jika dilafalkan begitu saja, maka bunyinya menjadi IBUKU. Pesan tersirat dari pendiri yayasan literasi tersebut, bahwa buku ialah ibu. Atau, anggap saja buku sebagai ibu, ya ibumu. Sebaiknya mungkin begitu, karena buku bersifat mengasuh, seperti ibu. Buku bersifat mengajarkan, seperti ibu. Kata ‘Buku’ berakhiran huruf ‘U’, seperti itu pula kata ‘Ibu’.

I:BOEKOE memiliki setidaknya 3 anak pinak; Radio Buku, Perpustakaan Gelaran Buku, dan Warung Arsip. Ketiganya sama-sama menjunjung prinsip kebersamaan, siapa saja punya hak dan kewajiban sama. Haknya merdeka dan kewajibannya memerdekakan. Namun kali ini saya tak akan membahas lebih panjang wujud fisik ketiganya.

Ahad(18Sept16), diadakanlah suatu kelas menulis esai. Semacam lokakarya kepenulisan. Di ruang depan Bale Black Box, Sewon Indah, Bantul. Bale Black Box itu, yang dipercaya banyak orang sebagai markas besar keluarga non-sedarah I:BOEKOE.

Lokakarya dimulai siang, semula rencana pukul 13:00 menjadi 14:00.  Tigabelas orang duduk mengitari meja kotak besar, dua orang lagi di meja sebelahnya karena tak cukup. Duduk di meja terpisah dengan niat yg sama: belajar. Sembilan lelaki dan satu perempuan berkedudukan sebagai murid, dua lagi panitia, dan yang seorang mursyid. Sebenarnya ada beberapa orang lagi, di lantai atas dan ruang belakang, namun mereka tidak sedang fokus dalam kelas esai. Mereka sedang berkegiatan lain.

Ada tiga mursyid dalam kelas ini, Faiz Ahsoul, Fairuzul Mumtaz, dan Muhidin M. Dahlan. Ketiganya adalah beberapa ‘orang tua’ dari para muda-mudi yang tiap hari berkegiatan di rumah kotak itu. Tiga orang tersebut menjadi biang pengetahuan di kelas esai kali ini. Secara bergantian mereka memaparkan esensi kelas ini diadakan. Yang satu, Gus Muhidin, menjadi pemateri tunggal di kelas esai: khususon membahas esai.

Pendek kata, kelas pun berlangsung. Diawali dengan minum kopi, teh, makan kacang rebus, dan beberapa menyulut rokok. Siang itu percakapan dimulai dengan pembukaan dari pihak panitia kecil Kelas Esai, kemudian pengantar dari Mas Faiz Ahsoul. Percakapan berjalan ringan, guyon, sambil sama-sama berbagi pengetahuan. Sampai pada tengahnya, dilontarkan tema dari Kelas Esai ini: menulis esai biografi tokoh keluarga.

Tema yang sangat biasa. Terlampau biasa. Ya, apa yang menarik? Jawabnya, yang menarik adalah ‘yang tak menarik’ tersebut.

Cukup bahagia suasana hati saya, ketika mendengar tema itu. Suatu kesempatan yang khas, untuk menuliskan cuilan cerita dari tokoh keluarga. Kenapa tokoh keluarga? Karena sebenarnya keluarga adalah tokoh, tapi sering tidak ditokohkan. Baik buruk keadaan keluarga tentu menjadi suatu pelajaran yang dashyat, sekurangnya untuk masing-masing pribadi.

Keluarga—jika berpedoman pada nilai Ki Hajar Dewantara—merupakan salah satu pihak yang menyelenggarakan pendidikan. Dari sana sebenarnya seorang bocah mendapatkan pengalaman pertama. Pengalaman pertama, kiranya merupakan pengalaman yang lumayan menentukan dalam proses berkembang. Dia memberi dampak langsung pada siapa saja dalam lingkup keluarga tersebut. Lepaskanlah tuduhan bahwa keluargamu buruk, atau keluargamu baik, ambil saja suatu pelajaran dari sana. Warisi apinya, jangan abunya, kira-kira begitu kata Soekarno.

Ketika sekolah formal berlomba mengajarkan sejarah nasional, yang berarti sejarah besar, maka Kelas Esai ini justru memulai pelajaran sejarah dari keluarga masing-masing peserta: dengan cara menulis biografi tokoh keluarga. Saya tak bilang bahwa satu diantaranya lebih baik dari yang satunya. Tentu dua pelajaran di atas sama pentingnya, dan sama kedudukannya. Satu hal, ketika terlalu sibuk mengurusi sejarah nasional, maka sejarah yang lain pun menguap, tak tersentuh dan membangkai. Hal ini yang saya anggap suatu keuntungan dari diangkatnya tema sejarah keluarga. Dari sejarah yang kecil; diri sendiri, keluarga, kampung, dan seterusnya. Mungkin begitu urutannya.

Saya mendakwa, bahwa sebenarnya I:BOEKOE, dan segala hal di dalamnya, tak hanya berurusan dengan perbukuan. Cukup kuat bukti saya, bahwa ia sebenarnya adalah sebuah pendidikan: sekolah. Sekolah alternatif, sekolah carangan. Mungkin juga bisa disebut--terlepas dari keabsahan badan hukum--universitas, akademi, atau apa saja yang berguna untuk sarana perpindahan pengetahuan. Sebuah sekolah tanpa seragam namun tetap berkurikulum. Kurikulum yang saya maksud adalah sebuah landasan kuat dan berlaku bagi tiap orang memasuki rumah I:BOEKOE. Bahkan, ketika mulai masuk gerbang Bale Black Box, belum menyentuh lantai ruang dalam pun, seseorang yg masuk itu pasti langsung 'mengendus' bau kurikulum itu. 

Tak ada lain tak ada bukan, kurikum yang saya maksud ialah ‘kemerdekaan’. Tiap orang merdeka dalam tiap gerak-gerik, ucapan, bahkan pikiran. Tiap pribadi justru diwajibkan untuk tidak seragam. Ya, bagaimana? Bukannya manusia memang tak seragam. Sepengetahuan saya, setiap pribadi punya akal bukan? Mana ada akal yang seragam isi dan kehendaknya. Dan akal, tak lain harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Tentu yang berhak menggunakan adalah pribadi masing-masing. Jika dipaksa untuk menganut pada satu pedoman tertentu, dan paksaan itu begitu keras, berarti itu teror yang pasti mebahayakan lagi mengerikan. Justru dengan kemerdekaan, orang akan belajar secara otentik untuk mencari batasnya sendiri, begitu kata Cak Nun.

Sekolah carangan inilah, yang menjadi alternatif dari penatnya sekolah formal. I:BOEKOE menjadi salah satu 'dunia lain' dimana sekolah berwujud cair nan egaliter. Memunculkan hubungan murid dan mursyid, sekaligus siswa dan guru. Suatu pendidikan yang tak kalah baik dengan pendidikan bergelar yang lama-lama menjadi sebuah kebutuhan, dan perlu diingat bahwa kebutuhan, hampir erat kaitannya dengan kecanduan. Dua-duanya memungkinkan untuk jadi rujukan pembelajaran.

Candu tak melulu buruk, ada baiknya. Silahkan memeriksa diri kita masing-masing, candu manakah yang sering kita gunakan. Baik kah? Buruk kah? Tentu ada keduanya, termasuk saya sendiri pun begitu.

Banyak hal yang musti saya ‘curi’ dari sekolah carangan. Prinsip ‘maiyah’, meminjam istilah Emha, yaitu prinsip kebersamaan, adalah salah satunya. Menyusun ingatan kembali, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Yang selalu butuh kolektif, butuh kawan. Juga prinsip keseragaman, merupakan salah duanya. Jangan cepat mati, doa saya untuk seluruh sekolah alternatif yang ada di semesta. Panjang umur sekolah carangan!

Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar