Alunan
angklung berimbalan. Ada enam angklung bernada pentatonis: pelog. Gong
besar berada di samping kiri, sendiri. Empat buah kenong berjajar di depan, memasrahkan
pukul pada satu-dua orang niyaga. Kesemuanya begitu patuh dengan aba-aba irama
kendang yang berada pada tengah formasi. Kendang yang jika diberdirikan setinggi pinggang orang dewasa, berukuran satu meter kotor, berbahan kayu nangka. Satu lagi, suara yang memekakkan
telinga. Instrumen tiup bernama slompret. Bukan main gila tingginya nada dari
alat itu.
Hanya delapan
orang, yang ada dibalik suara-suara yang kental suasana etnis itu. Dalam
beberapa frasa irama, mereka bermain seperti orang tanpa dosa: lupa segalanya
kecuali irama. Sama sekali tak ada ikut campur kawan-kawan dari dunia mistis,
kalaupun ada yang membakar menyan, boleh lah itu sebagai pembau hidung:
harum-haruman.
Tapi,
malam itu ketika aku sambangi mereka di Tejakusuma, sama sekali tanpa menyan.
Kondisi udara sedang tak membutuhkan pengharum, pikirku. Dan biasanya memang
tanpa itu.
Aku
duduk dibelakang si angklungers.
Datangku bersama seorang kawan. Aku perhatikan betul-betul kala itu, siapa saja
yang berlatih Reyog di Pendhapa Tejakusuma. Penari, pengrawit, wiraswara. Keputusanku:
komplit!
Pendhapa
Tejakusuma ialah salah satu sarana milik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Yogyakarta. Bangunannya joglo. Berbentuk segi empat dengan tiang kayu
ukiran. Lantainya merah. Cukup luas untuk bergerak. Tiap malam, kecuali sudah lingsir, ramailah tempat itu.
Tersebutlah si Manggala Mudha—yang sedang
kuceritakan ini—sebagai salah satu yang meramaikan. Paguyuban
‘maniak’ Reyog Ponorogo yang numpang
makan dan minum di Yogyakarta. Kebanyakan pegiat di dalamnya ialah calon
sarjana, calon diploma, dan beberapa orang lagi pekerja. Cukup tahulah aku, karena pernah basah nyemplung di dalamnya. Dua
pertiga lebih anggota bukan pribumi Yogya, sisanya boleh dikata asli Yogya.
Kira-kira
setengah sembilan, latihan mulai serius. Semua intsrumen dibunyikan pengrawit, semua
mulut wiraswara melempar senggak dan kidungan, dan penari, tentu saja menari.
Ada sebagian orang yang berdiri, masing-masing di lokal gamelan, wiraswara, dan
penari. Aku menyebutnya Korlap(Koordinator Lapangan), agar mewakili ketiga
lokal. Beberapa orang itulah yang membimbing atas apa yang mereka imani sebagai
wiraga, wirasa, wirama.
Reyog
adalah sendratari. Tentu saja membutuhkan banyak penari. Di latihan malam itu,
yang aku jadi saksi atasnya, kurang lebih ada tigapuluh penari. Campuran, ada
yang perempuan ada yang lelaki.
Malam
itu pun sebenarnya bukan latihan sembarang latihan. Konon ceritanya, para ‘maniak’
reyog itu, sedang mempersiapkan sebuah komposisi untuk berfestival. Festival
yang dirayakan untuk Peringatan Grebeg Suro, pergantian tahun Saka Jawa, di
kabupaten sisi timur Jawa: Ponorogo.
Festival
Nasional Reyog Ponorogo, nama untuk festival besar-besaran itu. Melibatkan
ribuan orang di dalamnya. Sebagai gambaran, ketika festival itu digelar di
alun-alun kabupaten, akses jalan di sekitarnya pasti akan penuh sesak. Orang
berbondong menuju panggung utama alun-alun. Tak ada cerita bosan dalam
menyaksikan berpuluh tampilan sendratari Reyog Ponorogo. Padahal, sudah
bukan hal baru bagi mereka. Hampir seperti wayang, ada saja yang menyaksikan. Mereka yang bersaksi tumpah ruah begitu saja. Ada yang berkalung sarung, menggendong anak, juga
muda-muda dengan tipe paling baru.
Maka
setengah membaurlah mereka di depan panggung utama, karena tempat duduk masih dibedakan.
Menyaksikan puluhan Dadhak Merak memamerkan taringnya secara bergantian. Masuk
satu, keluar satunya lagi. Grup reyog dari pelbagai penjuru berpesta pora 'pamer' garapan masing-masing.
Pengaruh
dari kesan festival itulah, yang boleh jadi membikin Tejakusuma begitu hidup
malam itu. Ya, di malam latihan yang aku saksikan. Para awak Manggala Mudha berusaha
menghidupi kesenian yang satu ini. Mereka pantas disebut salah satu pihak yang
memanjangkan usia seni tradisi yang konon lahir di jaman baheula. Jika dahulu sekali, Reyog pernah menjadi sebuah
kesenian yang bersifat ritual, maka sejak festival digelarkan, Reyog menjadi
sebuah pertunjukan yang makin lumrah dipertontonkan. Kembali pada sifatnya—menurut legenda—bahwa
Reyog memanglah seni perrtunjukan. Setidaknya kini, Reyog sanggup menjalani
kedua sifat: ritual dan festival.
‘Muda-mudi yang tak segan untuk memulai sesuatu’, setidaknya itu tafsiranku atas arti nama 'Manggala Mudha'. Jika siapa saja, yang ingin terbius dengan hawa etnis Reyog,
datanglah ke kota kecil berjuluk Ponorogo ketika festival besar itu digelar:
pekan terakhir bulan September. Jadilah saksi atasnya.
Seperti aku menjadi saksi atas 'Riak Suara Bawah Atap Tejakusuma', malam lalu: 20 September 2016.
Tabik!
Seperti aku menjadi saksi atas 'Riak Suara Bawah Atap Tejakusuma', malam lalu: 20 September 2016.
Tabik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar