Ijinkan sahaya menutur sebuah cerita
Atau boleh dikata, merima sebuah cerita
Jangan bandingkan dengan syair punya Rendra
Yang tentu lebih indah tata katanya
Ini cerita
Cerita untuk sebuah nama
Nama yang telah lama tak kudengar
Sunyi, kosong
Aku datang namun kau pergi
Aku menyelam namun kau menepi
Kau bilang berhenti!
Tapi ketahuilah bahwa bibir sahaya tetap bernyanyi
Bernyanyi untukmu
Menyanyikan cerita yg menjadi susunan nada
Nyanyian yg bukan tanpa makna
Dengarlah, maka kau akan tau apa
Sabtu, 28 Maret 2015
Jumat, 13 Maret 2015
Kinan
Kumulai
malam, coklat panas, sebungkus rokok, dan komputer di hadapanku. Beberapa bulan
belakangan jika malam datang rutinitasku hanya semacam ini. Berjam-jam aku
habiskan hanya untuk memandang layar dan menghisap rokok. Kadang atap kamarku
seperti akan terbang karena sudah tak sanggup menahan asap rokok yg keluar dari
mulutku.
Ada satu yg membuatku begitu
gandrung dengan komputer belakangan ini, jaringan internet, dan ada satu hal yg
membuatku gandrung pada jaringan internet, media sosial, dan yg membuatku candu
dengan media sosial adalah dia. Apa saja tentang dia, tulisan blog-nya selalu
aku baca, twitter, instagram pun tak luput dari perhatianku, karena itu yg
membuatku bisa melihatnya dengan leluasa. Lebih dari sepertiga malam aku
habiskan untuk itu-itu saja.
“Wisang, belum tidur kamu, nak?” teriak
mamaku dari luar kamar.
“Belum, ma, bentar lagi.” sahutku.
“Besok kuliah?”
“Kuliah.” jawabku singkat, lalu tak
terdengar lagi suara mamaku.
Aku lanjutkan kegiatanku, kali ini
aku hentikan pandang mata dari aktifitas si dia di dunia maya, dan berganti untuk
mengerjakan tugas kuliah, beberapa makalah dan resume. Kuliah sastra memang tak
lepas dari menulis, seperti yg kukerjakan saat ini.
Esoknya aku berangkat kuliah,
mengayuh sepeda balapku di jalanan Jakarta, masih terhitung sepi ketika aku
membesut aspalnya. Udara cukup segar, dan diiringi ramahnya sinar matahari yg
hangat, paduan pas karya Maha Pencipta, menambah nikmat perjalananku menuju
kampus.
Di kampus kuliahku berjalan seperti
biasa. Dosen, materi, teman-teman akrab, kantin kampus, dan ditambah beberapa
tetek bengek perkuliahan lainnya. Sudah mendekati jenuh aku kuliah, dan itu
sebabnya aku berusaha menuntaskan semua mata kuliahku di semester enam ini.
“Kinan.” tiba-tiba keluar dari
mulutku.
“Apa sih?” tanya Suryo, temanku.
“Dasar phyloginik.” ucap temanku yg
lain.
Aku tak menjawab respon mereka, aku
habiskan perhatianku untuk Kinan. Penyita waktu malamku. Gadis perpaduan Jawa-Bali.
Bayangkan saja, raut wajah gadis Jawa yg kalem dipadukan dengan gadis Bali yg
lugu dan eksotis. Manis, kata yg menancap di pikiranku ketika ia lewat di depan
bangku kantin tempat aku duduk. Rambutnya ikal, dengan wajah pribumi yg
menawan. Jika di dunia ini memang tak ada yg sempurna, maka mungkin dia yg
mendekati sempurna jika dilihat secara fisik.
“Itu gadis yg kau idamkan dalam
beberapa bulan ini, Sang?” celetuk si Suryo.
“Siapa bilang?”
“Nge-les
lagi, pengecut, ngaku aja.”, timpal Bahar, temanku.
“Cuma lelaki yg terlalu cinta dengan
dirinya sendiri yg tidak mau menyatakan cintanya pada orang lain.”, kata-kata
bijak keluar dari mulut Suryo.
“Kau benar, Sur, mungkin Wisang
perlu disunat lagi agar keberaniannya muncul, haha.”,singgung Bahar.
“Tau apa kalian soal cinta? Apa
karir kalian dalam percintaan bisa dipertanggungjawabkan?”
“Setidaknya aku dan Bahar tau kalau
cinta tidak untuk dipendam, dan aku berani bertanggung jawab atas perasaanku
sendiri. Nggak seperti kamu, cuma bisa diam dalam waktu yg
lama. Janur kuning belum melengkung, setiap pribadi bebas menyatakan apa yg
dirasa, Sang, ingat itu.”, Suryo meneruskan dengan kata-katanya yg ada
benarnya.
“Sudah lah, aku pulang.”, jawabku
menyudahi.
Terdengar tawa teman-temanku ketika
aku berjalan meninggalkan mereka. Aku pun sebenarnya menahan tawa. Hampir
hilang rasa maluku lantaran sudah terlalu sering ditertawakan. Sudah menjadi
hal wajar jika temanku tahu mengenai bab ini, mereka bersamaku dan sekaligus
saksi mata ketika aku menjadi pelaku kasus memandang anak orang, bernana Kinan.
Perjalananku meninggalkan kantin
begitu pelan, aku sengaja dan sudah jelas sebabnya. Kusebar pandangku, “Ya, itu
dia.”, pikirku. Sekali lagi aku lihat, kali ini yg muncul dalam pikiranku
adalah Drupadi yg terkenal rupawan, istri Yudhistira dalam cerita wayang, hanya
saja Drupadi yg satu ini sedikit ditambah ciri khas gadis Bali. Pikiranku saja
sampai bekerja keras kali ini, tak sanggup aku memadukan dua perpaduan itu,
terlalu agung.
Entah apa maksud Kinan, tiba-tiba dia
membalas pandangku, tersenyum dan pipinya merona. Kinan sadar sedang ada oknum
yg memanfaatkan keindahannya, dan oknum itu aku. Bukannya tersinggung ia malah
tersenyum, justru aku yg menjadi salah tingkah.
“Ya, Tuhan, makan apa gadis ini?” pikirku setelah melihat
ia tersenyum.
Mungkin kata indah, manis, dan
kata-kata serupa kurang mendefinisikan senyumnya.
Melesat pulang, aku bertanya-tanya
pada Tuhan, apa maksudnya memberikan senyum salah satu umat-Nya bernama Kinan
yg memang sudah lama aku dambakan, untuk menghibur hatiku saja, atau isyarat
Tuhan agar aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaan? “Entahlah, Tuhan
memang belum menjawab.”, kataku dalam pikiran. Bersama napas panjangku aku
keluarkan semua prasangka itu, dan kupercepat laju sepedaku.
“Hai, ma.” sapaku ketika sampai di
pelataran rumah.
“Hai, cowok.” jawab mamaku sambil
menggoda.
“Haha, aku bilangin papa lo.”
“Bilang sana, mama nggak takut.”
Kami tenggelam dalam tawa. Aku
hampiri mamaku dan duduk di sampingnya, duduk di kursi kecil teras rumah kami.
Aku menikmati redupnya sore hari sambil melupakan barang sejenak senyuman indah
si Drupadi Bali, sedang mamaku asik dengan hiasan bunga dari manik-manik yg
coba ia rangkai. Tak lama setelah itu adikku menyusul kami berdua di teras
rumah, senda gurau pun semakin menjadi.
Malamnya, selepas makan malam, aku
keluar rumah. Berniat jalan-jalan mencari suasana baru, tapi suasana tadi siang
yg kudapat, ingatanku terlalu kuat untuk mengabaikan kejadian tadi siang.
Senyuman Kinan masih menggelayuti pikiranku, bahkan sekarang sudah menggurita
di setiap saraf yg menempel di tubuh. Tanpa sadar, aku semakin menikmati
ingatan yg satu ini, ingatan yg bercampur mimpi, mimpi yg indah, tapi kacau. “Percuma!”,
kataku pelan. Di sisi lain, nuraniku menggugat, apa yg kuperbuat ini benar? Sepedaku
kuputar balik, dan pulang, berharap mimpi tentang Kinan tertinggal di jalanan.
Aku putuskan menghabiskan sisa malam
ini di kamarku, lagi. Kunyalakan PC, kuputar playlist favoritku, tak ketinggalan kunyalakan rokok pertamaku
malam ini.
Pikiranku kembali, pikiran yg kukira
sudah tertinggal di jalan tadi. Gambaran senyum Kinan sewaktu di kampus
ternyata merupakan kata kunci untuk membuka katalog memori tentangnya ke waktu
yg lampau, mungkin sekitar enam bulan yg lalu, ketika pertama kali aku melihat
dia, Kinan. Waktu itu aku berkesempatan untuk mengenalnya lewat salah satu
obrolan forum mahasiswa di media sosial. Aku sadar, saat itulah rasa kagum
muncul untuk pertama kali hanya karena melihat fotonya, yg ternyata setelah
melalui beberapa pertemuan tak sengaja di kampus, rasa kagum bercampur
rasa-rasa lainnya berdialektika menjadi rasa baru yg aku rasakan sampai
sekarang ini. Ingatan ketika aku dan dia bertegur sapa untuk pertama kalinya
juga tak kalah segar. Satu persatu ingatan tentangnya ter-retorika dengan
sendirinya dalam otakku, jika saja otak dalam kepala ini punya mulut, mungkin
dia akan marah karena si empunya otak hanya menggunakannya untuk memikirkan
gadis manis.
“Keluar dari pikiranku! Sudah cukup
gilaku kali ini.”, ucapku tiba-tiba.
Suaraku membubarkan lamunan
tentangnya. Aku memang sudah geram sekaligus hampir gila. Bagaimana tidak gila,
hatinya sudah dihuni orang, lelaki pilihannya, bahkan di jarinya sudah
melingkar cincin tunangan, aku tahu itu, tapi aku masih menginginkannya.
Seberapa besar dosaku jika aku masuk
terlalu jauh, meski sebenarnya ini sudah kelewat jauh. Ini teguran dariku untuk
diriku sendiri. Sudah lebih dari cukup aku berdiam diri, jika tak berani
menyatakan, berani mengakhiri adalah sikap yg tepat, pikirku. Walaupun kata
Suryo janur kuning belum melengkung, tapi cincin sudah menyatu dengan jari
manis Kinan. Bisa saja setelah lulus atau mungkin sebelum lulus malah, intinya
bisa saja dalam waktu dekat Kinan akan mengucap janji sehidup semati untuk pria
yg tidak saja berhasil melingkarkan cincin itu di jarinya, tapi melingkarkan
cinta di hati Kinan.
“Ah, ini tidak sia-sia. Ini berjalan
atas kehendak Tuhan, ini pemberian Tuhan, tak ada pemberian Tuhan yg sia-sia.”,
kataku untuk menenangkan diriku sendiri.
Tuhan sudah memberiku perasaan ini,
memang bukan untuk dinyatakan tapi untuk mendewasakan. Aku menyudahi lamunanku
tentangnya, semua tentangnya. Sebisa mungkin aku mengenangkan kejadian tadi
siang, aku harus selesaikan pergulatan perasaan ini. Kalau memang mengakhiri
perasaan bukan yg terbaik, setidaknya lebih baik daripada menyimpannya dan
sewaktu-waktu bisa menjadi granat untuk diri sendiri.
“Mungkin lusa saja aku buatkan puisi untuk
Kinan.” ucapku sambil tersenyum.
Kuliahku sastra, wajar saja jika
puisi menjadi penutup ceritaku dengan Kinan. Kalau saja ini ftv, mungkin di
akhir aku akan menikah dengan Kinan, atau minimal sempat menjadi dua sejoli yg
bersama-sama kesana dan kemari. Memang ini tidak menjadi kisah indah, tapi ini
sudah layak disebut cerita. Cerita untuk sebuah nama, Kinan...
Kinan
Nb: Ini hanya cerita fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh,
dan tempat itu bukan merupakan unsur kesengajaan. Tidak
ada pelanggaran HAM dalam proses pembuatan, baik itu
kepada manusia, hewan, bahkan rumput yg bergoyang.
Jumat, 06 Maret 2015
Ini Hidup, Bukan Surga
Hari Senin, selepas
subuhan perjuanganku untuk hidup kumulai. Namaku Abimanyu, asli Sragen, Jawa
Tengah, bekerja di Surabaya. Orang tuaku menamaiku Abimanyu mungkin dengan
harapan agar aku segagah Raden Abimanyu dalam cerita wayang. Kenyataan ternyata
tak setuju, lha wong nyatanya aku tak
gagah. Lebih condong ke pas-pasan,
bukan cuma tampang, bahkan postur, dan dompetku.
Matahari
masih malas di tempatnya, saat aku mulai memanasi motorku yang tak bertuan. Ya,
tak bertuan, BPKB hilang, pajak kendaraan pun sudah lama kutinggalkan, uang
selalu ludes untuk upeti ke juragan kos dan makan sehari-hari.
“Udah
siap-siap mau kerja, Bi?”, tanya teman satu kosku.
“Waa,iya
mas.”,sambungku sambil memegang tuas gas sepeda motorku.
“Sini
ngopi dulu, ngrokok biar melek matanya!”.
Wah,
rejeki ini, pikirku. Kumatikan motorku, dengan semangat aku menghampirinya.
Namanya Wisnu, manajer di salah satu restoran Jepang di Surabaya, seseoramg yg
menjadi kawan dan kadang lawanku dalam diskusi malam di kos, sekaligus tempatku
bercerita tentang asam manis hidup.
Kopiku
aku habiskan, rokok pemberian Mas Wisnu aku sedot dalam-dalam sampai ke filter.
“Aku
berangkat dulu, mas.”
“iya-iya,
silahkan, ati-ati lho di jalan.”, katanya.
Kupersiapkan
tasku, tak banyak isinya, buku kecil, beberapa sobekan kertas, dan bolpoin.
Maklum, aku staff rendahan di salah satu kantor advertising di Surabaya.
Aku
duduk di motor, ku-nyamankan posisiku, dan berangkat. Kantor tak begitu jauh
dari tempatku. Kupaksa motorku berlari, walaupun kadang tersendat. Tak banyak
yg kupikirkan selama perjalanan, kecuali perut yg sudah mulai melilit minta
sarapan.
Singkat
perjalanan, aku tiba di kantor.
“Bismillah.”,bisikku
pelan sambil memasuki pintu kantor.
Aku
selalu datang lebih awal di kantor, bahkan receptionist belum bersemayam di
tempatnya. Jadi, aku melenngang indah tanpa sambutan memasuki kantor, kecuali
sambutan dari Pak Kus,satpam kantor yg berada di depan gerbang.
Jam
sudah menunjukkan jam setengah 8, karyawan satu persatu mulai datang. Aku duduk
sambil membaca koran di ruanganku. Jangan dikira ruangan nyaman. Ruanganku
sempit, dan masih dijejali dua mesin fotokopi. Inilah tempatku, singgasana
tanpa kursi raja, tanpa tahta, dan mahkota.
“Gayamu,
kok mbaca koran, kayak wong yes saja.”terdengar tiba-tiba.
“Welhaa gasut tenan,memang kenapa, Ndar?Ndak
boleh aku baca koran?Ngagetin saja koen.”balasku.
“Mending
kamu siap-siap, itu mesin fotokopi di-cek dulu,biar nanti tinggal pake.”sambung Kandar sambil masuk dan
meletakkan tasnya.
Kandar
rekan kerjaku, dan rekan senasib, asli Surabaya. Karena suatu keharusan dari
Tuhan jadi dia kerja satu ruang denganku. Dia juga staff rendahan, tukang
fotokopi kantor sama sepertiku.
“Eh,
Nyu, kabar dari burung, hari ini mau ada rapat besar di kantor.”, Kandar
memulai.
“Halah rapat opo sih, Ndar?. Paling ya rapat biasa, mbahas investasi dan modal
dari para pembesar, kita tidak diperankan di situ.”, balasku.
“Koen dibilangin kok ngeyel.”,sambungnya dengan nada kesal.
“Nyukk,
fotokopikan berkas ini, rangkap empat, sekalian dijilid!”, perintah seseorang
yg datang tiba-tiba.
“Maaf,
mas. Nama saya Abimanyu bukan Abimanyuk!”,tegasku.
“Sak karepmulah, cepet ini berkas penting,
nanti kalau sudah, antar ke ruang rapat.”,lalu dia pergi.
“Jangkrikkk! Baru jadi karyawan kontrak
sombongnya melebihi langit.”, gerutuku.
“Wis-wis, sabar. Sudah jadi logatnya Si
Hasim, Nyu.”, Kandar menenangkan.
Dengan
rasa mangkel yg tidak sedikit, aku
kerjakan perintah Hasim. Tanpa memperhatikan isi berkas tak terlalu tebal itu,
aku fotokopi satu demi satu. Hati ini masih berselimut rasa dongkol.
Barang
limabelas menit berkas sudah selesai difotokopi rangkap empat plus jilid, dan
cepat-cepat kuantarkan ke ruang rapat.
Sampai
aku didepan ruang rapat, dari luar kelihatan anggota rapat sudah siap di kursi
nyamannya. Ruang rapat cuma dibatasi dinding kaca bertirai, saat itu tirai tak
ditutup, jadi aku leluasa melihat dalamnya. Kuketuk pintunya dan suara
mempersilahkan terdengar dari dalam.Suara yg tak asing..
“Ini
diletakkan dimana, Pak?”, tanyaku kepada pimpinan kantor.
“Itu
berkas dari Hasim?”,tanyanya balik.
“Iya,
pak.”,jawabku singkat.
“Letakkan
saja di meja dekat LCD.”
Aku
perhatikan tulisan di LCD sebentar, meletakkan tumpukan berkas, lalu permisi.
Berjalan lah aku kembali ke ruangku di belakang. Kandar masih menunggu disana.
“Udah,
Nyu?”,tanya Kandar sesampainya aku di ruang fotokopi.
“Sudah,kenapa?”.
“Kita
ngopi saja di warung sebelah, sambil sarapan. Lagian kita nggak ada kerjaan disini, karyawan sebagian rapat, sebagian lagi yg
ndak ikut rapat pada nggosip, tidak mungkin ada yg minta
difotokopikan.”,sahut Kandar sekenanya.
Aku
setuju dengan usulan Kandar. Berangkat juga kami berdua ke warung di samping
kantor. Kami sarapan seadanya, minum air putih pun cukup. Lalu memesan kopi dan
minta rokok eceran sebagai pelengkap ngobrol.
“Ndar,
kelihatannya rapat tadi memang benar-benar rapat penting. Tadi aku lihat
presentasinya, topiknya membahas pemasukan-pengeluaran kantor.”, aku memulai.
“Nah
kan, bener tho. Tadi pagi aku bilang
apa? Ini rapat penting!”,balasnya agak sewot.
“Kira-kira
mbahas apa ya?”,tanyaku.
“Ya
membahas pemasukan dan pengeluaran kantor, koen
iku gimana? Ndak inget kamu
berita beberapa hari yg lalu, tentang salah satu atasan kita yg korupsi uang
kantor, kantor kita ini sedang dilanda pageblug,
rugi besar, kesusahan. Pasti anggota rapat cari solusi mengurangi kerugian
kantor. Sudah jelas itu nanti lama rapatnya.”,jawab Kandar sambil bersiap
menyalakan rokoknya.
“Memang
atasan gila, jaman edan. Bukan uangnya
kok ya dimakan.”, umpatku.
Lalu
aku terdiam, membayangkan situasi di dalam ruang rapat, apa saja yg terjadi.
Anganku meninggi. Kuhisap rokokku dalam, agar anganku terhenti.
“Lulusan SLTA, karyawan rendahan,kok
ikut-ikutan?”,gugat pikiranku.
Cukup
lama aku dan Kandar ngobrol di warung, mulai ngobrol tentang kantor, pendidikan,
politik, dan batu akik yg jadi dewa zaman sekarang ini. Hampir dua jam lebih
kami di warung.
Kembali
ke kantor menjadi keputusan akhir. Aku rasa rapat sudah selesai, selain itu
sudah masuk waktu dzuhur, dan kami harus mulai bersiap kalau ada karyawan yg
minta di fotokopikan.
Benar
saja, ketika aku berjalan ke tempatku, terlihat anggota rapat yg berbincang
keluar dari ruang rapat. Mereka memandangku tanpa senyum, entahlah maksudnya
apa. Sudah sering seperti itu, dan memang aku yg harus tersenyum untuk menyapa
terlebih dahulu.
Jam
ruanganku memperlihatkan pukul dua lebih sepuluh. Aku duduk di dekat rak berisi
kertas HVS kosong, Kandar sibuk membersihkan potongan kertas sisa berkas yg
kujilid pagi tadi. Sedang aku, berusaha melihat kanan kiri mencari koranku. Ada
artikel menarik yg membahas tentang perusahaan kapitalis di Indonesia yg belum
selesai kubaca, walaupun aku tak mengerti sepenuhnya tapi aku meraba-raba
maksud dari artikel tersebut. Dan tiba-tiba...
“Mas
Abi, kesini, mas!”, suara itu mengagetkanku dan Kandar.
Ternyata
Bu Murti yg memanggilku, dia asisten pimpinan kantorku.
“Iya,
Bu. Ada apa? Fotokopi?”, tanyaku.
“Ini,
mas, hasil rapat tadi, saya permisi.”, jawab Bu Murti terburu-buru.
Pikiranku
melompat-lompat, heran, kok tumben hasil rapat disampaikan padaku. Aku
keluarkan dari amplop dan kubuka lipatannya.
“Duh
Gusti.”, kataku spontan dalam hati.
Kandar
yg melihat ekspresiku lalu mendekat, dan menarik kertas di tanganku. Membacanya
kemudian..
“Nyu,
tabah. Bukan rejekimu.”, dia menasehatiku.
“Yasudah
mau bagaimana lagi, kodratnya pegawai rendahan, ya harus siap di-PHK
tiba-tiba.”, sambungku sambil tersenyum palsu.
Tanpa
pikir panjang aku rapikan tasku, berpamitan dengan Kandar dan berjalan keluar
kantor. Aku berusaha tabah. Aku seperti ditendang keras keluar, pemecatan yg
hanya lewat kertas fotokopian, dan mungkin itu kertas yg aku fotokopi tadi pagi.
Sedang uang pesangon sepeser pun tidak kuterima, mungkin uang kantor sudah
habis dimakan setan kantor.
Ternyata ada juga beberapa karyawan yg
dipecat, aku mellihat itu selama berjalan keluar kantor. Ada yg duduk termenung
di kursinya, yg wanita menangis, dan masih banyak reaksi keterpurukan yg
menyedihkan. Tanpa berpamitan dengan atasanku aku keluar kantor, meraih sepeda
motorku dan berangsur keluar gerbang. Pak Kus yg tersenyum menyapaku sudah tak
kuhiraukan.
Di
pikiranku terlintas, “Inikah cara menanggulangi kerugian kantor?.”
Dalam
perjalanan pulang pikiranku semakin carut marut. Salah apa aku? Atasanku yg
menelan uang kantor sehingga menyebabkan kerugian besar, tapi aku yg dapat
ampasnya. “Sial tenan.”, pikirku.
Sesampainya
di kos sudah masuk waktu Ashar, Mas Wisnu ternyata juga baru pulang kerja.
“Masih
sore kok kecut tenan wajahmu, Bi.”,
sapanya sambil melepas sepatu.
“Ah,
ndak, perasaanmu mas.”,jawabku
menutupi.
Kuparkir
sepeda motorku, melepas sepatu, dan masuk kamar tanpa terlalu memperhatikan Mas
Wisnu yg pasti tahu bahwa aku sedang tertimpa asamnya hidup.
Kamarku
terasa tak cukup untuk menampung kecewaku. Kali ini aku benar-benar kacau,
hilang sudah kendali pikiranku, bingung. Untuk berjalan mondar mandir layaknya
orang bingung pun aku tidak mampu. Alhasil, aku hanya diam. Cuma hidung,mata yg
berkedip, paru-paru, jantung, dan organ dalamku yg tidak diam. Cukup lama aku
di dalam kamar, sampai maghrib kira-kira,entahlah..
Aku
putuskan untuk berdiri, membuka pintu kamar, dan berjalan keluar. Kagetku bukan
main ketika Mas Wisnu sudah duduk di kursi depan kamarku. Dua gelas kopi di
meja kecil, tepat di depannya. Bak tukang ramal perasaan, dia seakan tau apa yg
kurasakan. Orang macam apa ini, pikirku.
“Sini,
cerita!”, dia langsung menyambar.
Aku
memang bukan aktor, tak mampu menyembunyikan apa yg ada dalam pikiranku, atau
memang orang ini yg terlalu pintar meraba pikiranku. Aku duduk di dekatnya.
Tanpa dipersilahkan kuminum kopi yg disediakannya, entah itu panas atau tidak.
Mati rasa sudah panca indra-ku. Dia nyalakan rokoknya dan menawarkan juga
untukku. Tak kenal lagi aku kata sungkan, kuterima rokoknya dan kunyalakan.
Kami tenggelam, barang lima belas menit dengan rokok kami masing-masing.
“Aku
dipecat, mas.”, kataku spontan.
“Ya
cari kerjaan lain kalau masih mau hidup. Atasanmu korup?”,tanya-nya.
“Dengar
darimana, mas?”, tanyaku balik.
“Beberapa
hari yg lalu kan masuk koran. Jangan lama-lama sedihmu. Sedih itu mbok yg secukupnya saja. Ingat sama Sang
Pencipta baru sebanyak-banyaknya,bersyukur
koen. Ingat, kalau ndak ada
kesusahan, itu berarti surga, bukan hidup.
Lha wong ini hidup, sudah sepantasnya ada kesusahan datang.”, wejangan
keluar dari mulut bijaksananya.
Mas
Wisnu menepuk pundakku dan pergi masuk ke kamarnya. Aku diam, kembali dalam
lamunan panjang........
Ini Hidup, Bukan Surga
Selasa, 03 Maret 2015
Gerak Jalan Kebohongan
Rapi, lurus, berbanjar dan kadang bersap
aba-aba dari pemegang kuasa
gegap, gembira, angkuh ala raja
setiap formasi beralibi tertata rapi
Terlihat sama,
sama-sama berburu kemenangan sendiri
pikiran mereka piala bertahta
lupa sejenak, atau bisa-bisa lama
apa itu hakiki, jujur, dan apa adanya
pikirannya hanya tentang bualan, apalagi perkataan
kebenaran cukup disebut saja
atau, mungkin lupa cara mengejanya
kepalsuan dianggap jadi barang suci
Dasar pleton kemunafikan, aku do'akan Tuhan mengampunimu..
aba-aba dari pemegang kuasa
gegap, gembira, angkuh ala raja
setiap formasi beralibi tertata rapi
Terlihat sama,
sama-sama berburu kemenangan sendiri
pikiran mereka piala bertahta
lupa sejenak, atau bisa-bisa lama
apa itu hakiki, jujur, dan apa adanya
pikirannya hanya tentang bualan, apalagi perkataan
kebenaran cukup disebut saja
atau, mungkin lupa cara mengejanya
kepalsuan dianggap jadi barang suci
Dasar pleton kemunafikan, aku do'akan Tuhan mengampunimu..
Cermin Datar
Pernah terlintas..
Bahwa semua dari kita seperti bayangan
Bayangan yg klise, hobi berpesta
dengan angkuhnya mendongakkan kepala
berjalan segagah dan seanggun mungkin
mengabaikan apa yg seharusnya jadi bahan perhatian
Kawan, kita adalah benda tak bernyawa
dianggap bernyawa karena serba bisa
apa ilmumu sehingga bisa me-nyawakan benda?
kita lupa?
bayangan yg lupa dengan sosoknya?
berasyik-asyik ,dan tidak cuma tenggelam, tapi hanyut...
Kehidupan yg kekinian menjadi idaman
saling hujat, tak sempat berkenalan dengan kedamaian
rukun?cuma istilah..
Apa akal kita hilang?
tak pernah puas
lupa akan primer dan skunder
Ini cuma cermin datar ,sayang
semua bayangan...
kita terlena dengan bayang yg indah,melenakan...
tapi maya...
Bahwa semua dari kita seperti bayangan
Bayangan yg klise, hobi berpesta
dengan angkuhnya mendongakkan kepala
berjalan segagah dan seanggun mungkin
mengabaikan apa yg seharusnya jadi bahan perhatian
Kawan, kita adalah benda tak bernyawa
dianggap bernyawa karena serba bisa
apa ilmumu sehingga bisa me-nyawakan benda?
kita lupa?
bayangan yg lupa dengan sosoknya?
berasyik-asyik ,dan tidak cuma tenggelam, tapi hanyut...
Kehidupan yg kekinian menjadi idaman
saling hujat, tak sempat berkenalan dengan kedamaian
rukun?cuma istilah..
Apa akal kita hilang?
tak pernah puas
lupa akan primer dan skunder
Ini cuma cermin datar ,sayang
semua bayangan...
kita terlena dengan bayang yg indah,melenakan...
tapi maya...
Hai, Kekasih
Hai, Kekasih
Hai..
aku bingung,
bingung memulai darimana?
bingung dengan kebingungan yg aku ciptakan
bingung karena rindu yg tak surut
Aku !
seorang dan hanya seorang !
kamu dan hanya kamu
seperti sungai tak berhilir
Bertemu pun tidak
air dan minyak bahkan punya kesempatan bertemu,meski tak menyatu
lalu aku ?kau?
Rindu selamanya, tak pernah beradu
hati bertanya tentang kau
tapi sayang,mulutku bisu
miris memang,tapi nyata......
Bertemu pun tidak
air dan minyak bahkan punya kesempatan bertemu,meski tak menyatu
lalu aku ?kau?
Rindu selamanya, tak pernah beradu
hati bertanya tentang kau
tapi sayang,mulutku bisu
miris memang,tapi nyata......
Langganan:
Postingan (Atom)