Jumat, 22 April 2016

Safari ke Belantara Hukum



TN. Baluran (zhafiratrans.co.id)
            Safari identik dengan perjalanan yang menyenangkan, dengan mobil kap terbuka dan melihat kiri kanan penuh dengan ekosistem yang masih terjaga. Ke belantara? Belantara lebih cocok digunakan untuk hutan yang benar-benar liar dan rimbun. Tapi, kenapa kali ini belantara digunakan sebagai pasangan hukum. Belantara Hukum. Apa karena hukum sudah jadi liar dan rimbun, dengan politisasi yang tambal sulam. Atau memang lebih luas lagi, kehidupan memanglah sebuah belantara yang liar dan penuh mitos. Jawab di hati masing-masing.
            Menengok praktek hukum sekarang, dari sudut pandang awam, pasti terlihat lebih banyak praktek hukum yang tumpul ke atas tajam ke bawah. Seperti itukah memang hukum? Atau ekspektasi awam saja yang berlebihan tentang hukum, yang menganggap hukum adalah barang suci, yang bisa ditelaah mentah bersama kulitnya. Apa memang hukum adalah jalan yang sudah pasti kebenarannya?
            “Jalan apapun yang kau tempuh, lurus ataupun berkelok-kelok. Ingatlah bahwa selalu ada kubangan di setiap jalan itu.” – Amongraga. Serat Centhini
            Mari kita kembali pada idiom Jawa Kuno, dari Amongraga, bahwa pada kenyataannya, setiap apapun pasti punya kubangannya sendiri-sendiri. Kesucian hanya milik orang-orang yang memperoleh ilham dari langit, dan langit itu sendiri. Jadi, masih menganggap bahwa hukum itu bersih dan menjamin setiap keadilan ? Tentu bisa saja iya, jika hukum yang dimaksud berpihak pada keadilan. Jika tidak ? Maka jangan gunakan lagi adagium ‘setiap orang sama di mata hukum’.
            Dalam ilmu hukum tentu terdapat banyak asas-asas. Asas utilitas, yang memungkinkan seseorang tidak terkena penegakan hukum jika melakukan penyimpangan, karena jika sampai seseorang tersebut tersangkut kasus, akan berdampak pada runtuhnya negara. Asas praduga tak bersalah, yang memosisikan hakim sebagai satu-satunya pengambil keputusan atas penetapan tersangka, walaupun bukti sudah menunjukkan indikasi. Lalu berbagai asas lainnya yang tertulis dalam buku-buku pengantar ilmu hukum.
            Seperti yang sudah saya tulis di atas, hukum pidana dan perdata pada umumnya berbeda dengan hukum gravitasi, hukum Newton, hukum-hukum temuan Cengel tentang Termodinamika. Ilmu hukum pidana dan perdata bukanlah ilmu eksak, dia bisa saja berubah dan tidak bersifat klinis. Memiliki tingkat relatifitas yang jauh lebih tinggi, tergantung siapa yang menggunakan dan pada siapa si hukum berpihak. Maka jangan heran melihat potret hukum di negara yang berlaku seperti anak perusahaan, jika praktek hukum terlihat tumpul ke atas tajam ke bawah. Dan jangan heran jika para pekerja hukum tetap kekeuh berkampanye ‘semua orang sama di mata hukum’, itu hanya cara berpolitik dalam hukum. Karena hukum memang dijalankan dengan politik hukum, yang keliru adalah jika terjadi politisasi hukum.
            Kita tentu punya persepsi lain-lain tentang hukum. Tapi yang lebih penting, berhentilah menganggap bahwa hukum itu suci. Jangan terlalu percaya dengan mantra-mantra hukum yang tertulis di buku pengantar ilmu hukum. Karena kenyataan akan selalu berbeda dengan tulisan. Hukum akan adil jika memang berpihak pada keadilan, hukum akan benar-benar ditegakkan, jika benar sudah ditegakkan. Tak ada lagi kebenaran dari sudut pandang lain-lain, kecuali dari kebenaran. Dan rakyat, adalah komisaris jendral di negaranya. Tampuk kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara, berhentilah mengigau tentang kesucian hukum, karena hukum yang sekarang berjalan belum tentu berpihak padamu. Biarkan negara ini runtuh jika langit menghendakinya, kau sudah tahu bahwa hukum dan dunia adalah belantara. Manusia hanya pencari kebenaran di tengah belantara, yang ada padanya barulah kebenaran yang masih bisa dipertanyakan. Ingat, di atas hukum masih ada etika..
            “Salus populi suprema lex : keselamatan rakyat adalah hukum yang paling tinggi, lebih tinggi dari konstitusi.”

“Sekalian masih tersihir hawa panas materi
Lengah dengan diri sendiri, lali dengan duka dan cita kehidupan
Diam, dan tak melawan!
Maka nanti saat kau bangun
Terjunlah, pada pergulatan dengan dirimu sendiri
dan medan pertempuran dengan penguasa haus kuasa
Biarkan sayup suara ini didayung angin peradaban
terbaca oleh mereka yang sadar
bahwa serakah bukanlah mental.”
( di Belantara, 19/04/’16 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar